Di pematang masa depan
Aku akan menanam padi benihmu
Yang menguning kala waktu bertuah
Dan ranum membekas
Aku siapkan segalanya untuk panen
Agar kicau burung masih terngiang
Dan anak-anak desa riuh dengan kerbau mereka
Aku pematangmu!
Menggores derita yang tersimpan
Di kantong bajumu yang batik
Dan tak kan lusuh dengan waktu panen
Sampai aku seperti burung pipit
Burung pipit yang selalu berkicau
Pada mimpi-mimpi kosongmu
Hingga kemarau jengah
Takut tidur dipelukanmu
Karena jiwa adalah terminal rasa yang menggetarkan, lewat desiran yang samar,dan membawa kita ke waktu-waktu..... Akupun akan membawamu di kemudian rasa
Selasa, 30 Juni 2009
Selasa, 16 Juni 2009
Untukmu Mas
Kau dan aku bisa melihatnya mas.....
Lihatlah mas, anakmu tersenyum menyapamu. Dia lelah seharian menunggu Ayahnya pulang kerja. Ketika beranjak tidur, dia minta diceritakan tentangmu. Katanya suatu hari di depan teman-teman nya dia bercerita tentangmu dia bilang begini “Babaku adalah baba yang sangat sayang…….. sekali kepada anaknya. Ketika ia libul bekelja aku selalu ditemaninya belmain. Telus sehabis shalat beljamaa maglip baba mengajakku mangaji. Kalo mau bobo’ di cup keningku, lalu aku beldo'a 'Allohumma figli wali wali dayya wal ham huma kama lobbayani cogilo..'Ai lop yu baba…... anicah cayang Baba. mmmmuach...!” Lalu ustadzah dan teman-temannya bertepuk tangan untuk dia.Sungguh ia cerdas seperti kau. Bangga kepada ayahnya. Aku tak lupa mengajarinya menyanyi lagu kesukaanmu mas...., kau masih ingat bukan itu adalah lagu kenangan kita.Dan katamu "Kelak dik, suatu saat, jika kita sudah memiliki anak, aku ingin dia hafal lagu ini. Maka aku akan sangat bangga kepada dia". YA ALLAH, Tuhanku Hanya Engkau.. Aku serahkan PadaMU...
*Peliharalah sayangmu untuk keluargamu
Surat Cinta
Aku menemuimu di baris kata-katamu
Dalam surat di malam itu
Setiap huruf yang berderet dikertasmu
Memaksa mataku untuk menyapa mereka
Mengeja huruf dalam lembah dan guanya
Aku tersenyum, namun mataku menangis
Perihal rindu membuncah seketika
Ah,sudah kepalang basah pula
Kepalang cinta aku padamu
Setelah membaca suratmu
Aku lipat dengan hati gamang
Agar sama seperti sedia kala
Rindu yang luka
Ah ah ah, lagi-lagi sepotong wajahmu
Menggantung dipelupukku
Mematahkan pucuk-pucuk cemara
Mengalirkan air sungai dihatiku
*untukmu, semalam di api unggun
Dalam surat di malam itu
Setiap huruf yang berderet dikertasmu
Memaksa mataku untuk menyapa mereka
Mengeja huruf dalam lembah dan guanya
Aku tersenyum, namun mataku menangis
Perihal rindu membuncah seketika
Ah,sudah kepalang basah pula
Kepalang cinta aku padamu
Setelah membaca suratmu
Aku lipat dengan hati gamang
Agar sama seperti sedia kala
Rindu yang luka
Ah ah ah, lagi-lagi sepotong wajahmu
Menggantung dipelupukku
Mematahkan pucuk-pucuk cemara
Mengalirkan air sungai dihatiku
*untukmu, semalam di api unggun
Selasa, 09 Juni 2009
Aku Mencintai Ibuku
nafasku adalah puisi yang terkantuk-kantuk
disudut kota merah
merayap dibangunan-bangunan tua
ketika pagi ia berkemas menjadi satpam
menjaga kata-kataku yang belum manjadi puisi
mataku akan meleleh saat ibuku mati
ia menghembuskan nafasnya digantungan awan
yang ringan bersama angin sepoi
ia wanita separuh nafasku
satu nadi yang berdenyut serentak
satu jantung dengan irama senada
aku tututp kepala ibuku dengan
kerudung warna bunga kangkung
yang ungu diantara air kotor
namun sang bunga tak risau berakrab dengannya
ungu yang mengendap di dadaku
menyeskkan nafasku, bedebah!
namun mati bagi ibuku
adalah penantian tak terlupakan
hingga mataku meleleh terkebur waktu
nafasku masih menjadi puisi
ditebing-tebing yang kuat
dikubur ibupun puisiku tidur disampingnya
disudut kota merah
merayap dibangunan-bangunan tua
ketika pagi ia berkemas menjadi satpam
menjaga kata-kataku yang belum manjadi puisi
mataku akan meleleh saat ibuku mati
ia menghembuskan nafasnya digantungan awan
yang ringan bersama angin sepoi
ia wanita separuh nafasku
satu nadi yang berdenyut serentak
satu jantung dengan irama senada
aku tututp kepala ibuku dengan
kerudung warna bunga kangkung
yang ungu diantara air kotor
namun sang bunga tak risau berakrab dengannya
ungu yang mengendap di dadaku
menyeskkan nafasku, bedebah!
namun mati bagi ibuku
adalah penantian tak terlupakan
hingga mataku meleleh terkebur waktu
nafasku masih menjadi puisi
ditebing-tebing yang kuat
dikubur ibupun puisiku tidur disampingnya
Langganan:
Postingan (Atom)