Jumat, 20 Mei 2011

buku



Judul Folklore Madura
No. ISBN 9799010120
Penulis EMHA AINUN NADJIB
Penerbit Progress
Tanggal terbit Desember - 2009
Jumlah Halaman 164
Berat Buku -
Jenis Cover Soft Cover
Dimensi(L x P) 130x200mm

Kejadian sederhana, lucu, dan unik kadang menyimpan sejuta makna. Ia mengundang senyum atau tawa, tetapi mungkin itu berarti senyuman atau tertawaan untuk kita sendiri, karena boleh jadi kejadian itu adalah cermin perilaku kita sendiri. Begitulah, pengalaman unik yang disaksikan atau di dengar Cak Nun disajikan dalam buku ini dengan penuh makna. Ada 27 cerita ditampilkan dalam buku ini. Ada tentang Saridin, murid Sunan Kudus. Ada tentang nasib Kang Sobary. Ada tentang Gus Dur. Juga anekdot orang Madura. Semua disajikan dengan bernas oleh Cak Nun

Oka Rusmini



Judul SAGRA
No. ISBN 9799375436
Penulis Oka Rusmini
Penerbit Indonesia Tera
Tanggal terbit 2000
Jumlah Halaman 320
Berat Buku -
Jenis Cover Soft Cover
Dimensi(L x P) -
Kategori Cerpen
Bonus -
Text Bahasa Indonesia ·
cerpen prestisius dengan rentang tahun penciptaan 1994-2000 ini. Sagra bersama-sama Pemahat Abad, Putu Menolong Tuhan, dan Sepotong Kaki dapat dikatakan sebagai cerpen-cerpen masterpieces Oka Rusmini. Keempatnya memperlihatkan kemahiran pengarang mengelola alur yang berlapis-lapis, mengurus tema yang diturunkan dari persoalan rumit kosmologi kasta dan griya yang bagi orang Bali kebanyakan pun mengandung realitas eksklusif, dan bertutur dalam gaya kilas-balik yang memerlukan konsentrasi dan fokus yang biasanya cuma dimiliki pengarang dengan jam tulis telah teruji kumpulan cerita pendek ini tampaknya semakin meneguhkan posisi Oka Rusmini sebagai salah seorang pengarang kuat Indonesia dengan masa depan yang sangat cerah, terutama jika ia terus mengeksplorasi tema yang diangkat dari locus genus yang sangat dikuasainya. (Horison, September 2001).

Tarian Bumi



No. ISBN 9792228772
Penulis Oka Rusmini
Penerbit Gramedia Pustaka Utama
Tanggal terbit Juli - 2007
Jumlah Halaman 188
Berat Buku -
Jenis Cover Soft Cover
Dimensi(L x P) 135x200mm
Kategori Sosial-Budaya
Bonus -

SINOPSIS BUKU - Tarian Bumi
Di tengah-tengah megahnya Bali, terselip berbagai bentuk ketidakadilan yang dialami perempuan Bali seperti masalah kasta. Perempuan berkasta Brahmana (seperti tokoh Telaga di novel ini) tidak boleh bersuami dari kasta lebih rendah, harus berbicara dengan bahasa berbeda dan memandang semua segi kehidupan dari perspektif lebih tinggi. Konflik dimulai ketika Telaga jatuh cinta pada pria Sudra. Telaga terjepit di antara cinta dan adat yang mesti dijunjung tinggi. Memilih salah satunya sama saja dengan mengorbankan separuh hidupnya. Dengan setting budaya Bali yang kental, novel ini menunjukkan posisi sebenarnya perempuan Bali di dalam masyarakatnya.

***

Rather than contesting established stereotypes, another recent text creates its own mythic quality through evocation of the on going, timeless quality of female experience. Tarian Bumi (Dance of the Earth) by Oka Rusmini focusses intensely on the interwoven stories of four generation of women living within the thight spatial and phsycological boundaries of the walled family compound of village Bali.
-- Barbara Hatley, Literature, “Mythology and Regime Change”

Tarian Bumi menjadi fenomena sekaligus kontroversi. Novel ini dengan sangat terbuka menghantam keadaan yang melingkupi kehidupan perempuan di kalangan bangsawan Bali yang masih sangat feodal. Dalam konteks adat istiadat Bali, Tarian Bumi dipandang sebagai sebuah pemberontakan kepada adat.
-- Tempo, 9 Mei 2004

Jika novelis Inggris, Graham Greene, merasa telah menemukan India yang sebenarnya justru dalam novel-novel dan cerita-cerita pendek yang ditulis R.K. Narayan, maka tak berlebihan jika kita pun merasa telah menemukan Bali yang sebenarnya melalui novel ini.
-- Horison, Juli 2001

Bagi pembaca luar Bali, novel Oka Rusmini bukan saja indah dinikmati sebagai sastra melainkan pula mencerahkan banyak segi pemahaman lebih esensial dan kesalehan spiritual manusia budaya Bali. Kehadiran Oka Rusmini benar-benar fenomenal bagi karakter local genius Sastra Modern Indonesia mutakhir.

Laluba


Judul Buku : Laluba
Penulis : Nukila Amal
Penerbit : Pustaka Alvabet
Cetakan : I, Mei 2005
Tebal : 166 hal. 13.5x20 cm
ISBN : 979-3064-13-7

Setelah sukses dan menghentakkan dunia sastra tanah air dengan novel lirisnya "Cala Ibi"(2003), kali ini Nukila Amal mempersembahkan karya terbarunya "Laluba", sebuah kumpulan cerpen yang terdiri dari 15 buah cerpen dimana lima diantaranya pernah dimuat di Majalah Matra, The Jakarta Post, Koran Tempo dan Jurnal Kebudayaan Kalam.

Kelimabelas cerpen dalam buku ini dibagi dalam dua bagian besar. Di bagian pertama "Para Penyelamat dan Para Penari" (5 bh cerpen) terdapat cerpen "Laluba" yang dijadikan judul buku kumpulan cerpen ini. Tidak dijelaskan mengapa cerpen Laluba dijadikan judul buku ini namun jika dilihat dari keseluruhan cerpen yang ada, cerpen Laluba memang yang paling menonjol diantara cerpen-cerpen lainnya. Dalam cerpen Laluba Nukila bertutur mengenai seorang ibu yang berdialog dengan anaknya yang masih berada dalam kandungannya yang dinamainya "Laluba" (lumba-lumba.). Cara bertutur dalam cerpen Laluba ini mengingatkan kita akan Cala Ibi, penuh dengan kalimat-kalimat liris bak puisi, metafor-metafornya terpilih dengan cermat dan kadang mengagetkan.

Di bagian kedua "Para Penatap dan Para Pencerita" (10 bh cerpen) Nukila menuliskan cerpen-cerpennya yang bertolak dari karya-karya pegrafis legendaris asal Belanda yang karya-karyanya telah mendunia M. C. Escher (1898-1972). Dalam cerpen berjudul "Drama Dua Tangan" dengan menarik Nukila menyajikan cerpennya dalam bentuk dialog drama antara tangan satu dan tangan dua yang saling menggambar dengan asyiknya hingga suatu ketika mereka berselisih siapa yang lebih dulu menggambar tangan, tangan satu bersikukuh dialah yang menggambar tangan dua, sebaliknya tangan dua berpendapat dialah sipembuat tangan pertama dan dialah sang pencipta sementara tangan pertama adalah ciptaannya.

Sebuah karya terkenal M.C. Escher yang bertitel Reptil (1943) mengilhami Nukila untuk membuat cerpen berjudul "Kita Ada di Sini" . Di cerpen ini Nukila mencoba menerjemahkan litograph Escher kedalam rangkaian kata dengan baik sekali bagaimana sketsa seekor buaya kecil tiba-tiba menyeruak keluar dari gambarnya.

Membaca cerita-cerita pendek Nukila dalam "Laluba" memang menarik karena setiap cerpen Nukila akan menyeret kita kedalam ceruk-ceruk batin manusia yang paling dalam dan misterius yang dibingkai dalam keindahan berbahasa yang menakjubkan. Hal ini tentu saja membawa konsekuensi cerpen-cerpen ini menjadi agak sukar dimengerti bagi mereka yang hanya terbiasa membaca cerpen-cerpen ringan. Sedikit kekurangan pada buku ini adalah tak ada satupun juga karya grafis MC Escher yang tercetak pada buku ini. melainkan hanya memuat judul karya dan tahun pembuatan dari karya grafis MC Escher di tiap akhir cerpen. Tentu saja bagi orang yang tak mengenal siapa MC Escher keterangan tersebut tak akan memiliki arti apapun. Jika saja karya pegrafis terkenal ini dimuat di awal atau di akhir setiap cerpen tentunya hal ini akan sangat memudahkan pembaca untuk lebih mengapresiasi setiap cerpen dalam buku ini.
Dyah Pitaloka - Senja di Langit Majapahit

Judul : Dyah Pitaloka - Senja di Langit Majapahit
Penulis : Hermawan Aksan
Penerbit : C-Publishing
Cetakan : I, Des 2005
Tebal : 326 hal ; 17.5 cm

Dyah Pitaloka, putri Prabu Linggabuana, raja negeri Sunda kerap diganggu mimpi buruk dalam tidurnya. Dalam mimpinya ia melihat matahari yang menggantung di atas cakrawala pelan-pelan terbelah menjadi dua dan mencebur bersama-sama ke dalam laut yang mendadak berwarna merah darah. Mimpi buruk itu terus mengganggunya semenjak utusan dari Majapahit datang ke Negeri Sunda.

Dimasa itu Majapahit dibawah pimpinan Raja Hayam Wuruk, telah menjadi kerajaan yang besar dan disegani diseluruh Nusantara. Peran Patih Gajah Mada dengan sumpah Palapa-nya yang terkenal membuat hampir seluruh Nusantara takluk dibawah kekuasaan Majapahit. Hanya ada satu negeri yang hingga saat itu masih merdeka dari pengaruh Majapahit, padahal negeri itu hanya dibatasi oleh sebatang aliran sungai Cipamali. Negeri Sunda! Negeri Sunda inilah yang membuat sumpah Palapa Gajah Mada belum juga tergenapi. Tak terhitung sudah berapa kali Gajah Mada berniat untuk menyerang negeri Sunda dengan pasukannya, namun selalu urung karena ia merasa ada semacam wibawa tak kasat mata yang membuatnya segan terhadap Negeri Sunda yang jika ditilik dari sejarah memang telah ada terlebih dahulu dibanding Majapahit, bahkan pendiri Majapahit sendiri memiliki darah sunda dari ayahnya. Sayangnya Gajah Mada tak mempercayai adanya hubngan darah ini sehingga ambisinya untuk menaklukkan negeri Sunda tak pernah padam.

Raja Hayam Wuruk yang saat itu hendak mencari seorang istri mengutus para juru lukisnya ke segenap penjuru nusantara untuk melukis putri-putri dari berbagai kerajaan yang kelak akan dipilihnya untuk menjadi permaisuri. Kecantikan Dyah Pitaloka di Negeri Sunda tak luput dari incaran juru lukis Majapahit. Diantara ratusan lukisan dari berbagai penjuru Nusantara, Hayam Wuruk terpikat oleh lukisan Dyah Pitaloka dan memilihnya untuk dijadikan permaisurinya. Hayam Wuruk segera mengirim utusannya untuk menyatakan niatnya. Mulanya Dyah Pitaloka tak berkenan dengan cara yang dilakukan oleh Hayam Wuruk untuk mencari permaisuri, harga dirinya sebagai seorang putri negeri Sunda terasa terlecehkan, namun ia tak kuasa melawan kehendak ayahnya, Prabu Linggabuana yang menyetujui lamaran Hayam Wuruk. Untuk itu Prabu Linggabuana dan Dyah Pitaloka diundang untuk segera berangkat menuju Majapahit guna melaksanakan pesta pernikahan.

Jika Prabu Hayam Wuruk hanya berniat mencari seorang permaisuri, lain halnya dengan Gajah Mada. Bagi dirinya pernikahan Dyah Pitaloka dengan Hayam Wuruk dilihatnya sebagai kesempatan untuk menggenapan Sumpah Palapa-nya. Dengan cerdiknya Gajah Mada mempengaruhi Hayam Wuruk agar memandang pernikahannya dengan Dyah Pitaloka sebagai suatu pengakuan kedaulatan negeri Sunda terhadap Majapahit. Dengan demikian Dyah Pitaloka dianggap sebagai "upeti" dari Negeri Sunda.

Prabu Hayam Wuruk yang rencanya akan menjemput Dyah Pitaloka dan rombongannya di Tegal Bubat akhirnya gagal. Gajah Mada merubah rencana yang telah terususun rapih. Rombongan Prabu Linggabuana dan Dyah Pitaloka yang telah tiba di Tegal Bubat heran karena Prabu Hayam Wuruk dan rombongan yang akan menjemputnya tak kunjung tiba. Dua ksatria dari Negeri Sunda diutus untuk memasuki Majapahit, mereka bertemu dengan Gajah Mada yang memerintahkan agar dan Prabu Linggabuana dan rombogannya datang sendiri ke istana Majapahit untuk menyerahkan Dyah Pitaloka sebagai "upeti" dari Negeri Sunda. Hal ini membuat Prabu Linggabuana dan seluruh rombongannya tersinggung. Harga diri dan kebesaran Negeri Sunda terasa tercabik-cabik, Prabu Linggabuna menolak perintah Gajah Mada. Perang tak terhindarkan! Pertarungan yang tak seimbang antara harga diri Prabu Linggabuna dan ambisi Gajah Mada berkembang menjadi perang yang dashyat dan melagenda, dua kekuatan tak mau menyerah begitu saja. Dyah Pitaloka yang masih menggunakan pakaian pengantinnya ikut bertarung mempertahankan negeri dan harga dirinya sebagai seorang putri Sunda. Sejarah mencatar Perang ini sebagai Perang Bubat (1357).

Sejarah adalah merupakan satu fakta, atau sesuatu yang dapat dibuktikan dengan fakta. Sejarawan ma tidak mau terikat pada fakta-fakta yang pernah terjadi: dia tidak bebas dalam penggarapan bahan-bahan sejarah itu. Akan tetapi, seorang penulis novel sejarah dapat lebih bebas menciptakan ceritanya sendiri. Hermawan Aksan dalam novel perdananya ini mencoba mengangkat fakta sejarah Perang Bubat kedalam novel ini. Tokoh-tokoh sejarah seperti Dyah Pitaloka, Gajah Mada, Hayam Wuruk, Linggabuana dan lain-lain dideskripsikan menurut versi penulisnya. Dyah Pitaloka dalam novel ini dideskripsikan sebagai seorang putri yang cantik yang haus akan ilmu dan gemar membaca kitab-kitab sastra dan mempelajari ilmu kanarugan. Dyah juga sangat peduli tentang nasib kaum perempuan di negeri Sunda dan memiliki pandangan yang jauh kedepan mengenai peran seorang putri yang dibesarkan dalam lingkungan kerajaan. Karena berada dalam area fiksi deskripsi ini mungkin sah-sah saja, namun mungkin akan menimbulkan tanda tanya bagi pembacanya, apakah mungkin seorang putri yang hidup di abad 13 telah memiliki pandangan yang jauh kedepan terutama dalam hal-hal emansipasi?

Karakter Gajah Mada yang selama ini dikenal sebagai tokoh pemersatu Nusantara dalam novel ini digambarkan sebagai seorang patih ambisius yang rela memanfaatkan cinta rajanya (Hayam Wuruk) untuk memenuhi ambisinya mepersatukan Nusantara hingga harus mati-matian memerangi Prabu Lianggabuana dalam tragedi berdarah di Tegal Bubat. Sedangkan Hayam Wuruk sendiri digambarkan sebagai raja boneka yang mudah dipengaruhi oleh Gajah Mada.

Dari segi plot cerita, novel ini disajikan dengan sangat menarik. Nampaknya Novel ini dikerjakan dengan riset yang cukup mendalam, hal ini terbukti dengan gambaran Perang Bubat yang menjadi klimaks cerita yang disajikan dengan seru dan memikat. Deskripsi kota Trowulan – Majapahit disajikan dengan cukup detail seakan mengajak pembacanya berpetualang ke ibukota Majapahit. Novel ini juga memberi pemahaman pada pembacanya terhadap tokoh Dyah Pitaloka dan kaitannya dengan Perang Bubat yang merupakan awal dari redupnya kebesaran Gajah Mada setelah kejadian ini.

Sebagai Novel Sejarah sebenarnya novel ini sangat berpotensi untuk lebih mengangkat lagi budaya Sunda dan Jawa / Majapahit, sayangnya hal ini tidak tereksplorasi dengan baik. Kurangnya sketsa kehidupan sosial masyarakat Sunda dan Majapahit membuat novel ini lebih bernuansa istana-sentris karena hanya mengungkap kejaidan seputar istana Sunda dan Majapahit. Jika saja unsur-unsur sosial dan budaya masyarakat Sunda dan Majapahit terungkap dengan baik novel ini akan menjadi novel sejarah yang gemuk yang akan mengenayngkan pembacanya.

Namun terlepas hal-hal diatas novel perdana Hermawan Aksan ini patut dihargai setinggi-setingginya karena bagaimanapun novel ini mengungkap sepenggal peristiwa sejarah yang mungkin sudah terlupakan dan hanya ditemui dalam buku-buku teks sejarah kedalam sebuah novel yang memikat dan memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi.

Applicare alif


puisi: Kafiyatun Hasya
Raffah, hai nascosto fiamma dijantungku. Forse in questo modo sarà anche incantesimo degubku. Come suono Bényi-quiet. Poi si raddrizza alif nel mio cuore Se vedete la mia città vago, è una perdita per la controversia. Se trovi rotto Il mio desiderio è quello di tessere una voce:
Suicidio, Raffah
Qualora il marchio di nascita sul braccio, anche nel mio braccio. Una partita si riassume
Raffah, se un giorno si trova capelli fluenti poesia granuli. Uno di questi è che il mio viaggio aspettiamo
Simak
Baca secara fonetik

L’abitudine

cerpen:
Seringkali Andini membayangkan betapa suatu hari ia akan menjelma burung kolibri, terbang tinggi melintasi pelangi di tengah keranuman musim semi. Pada saat itulah ia akan merasakan warna-warna bunga menjadi lebih berkilauan dalam kesunyian, dan cahaya pagi terasa lebih hangat dari sebuah ciuman yang paling menenteramkan.
Sungguh Jos! Aku selalu membayangkan hari yang ajaib itu datang mengetuk jendela kamarku, bersama kabut dan dingin yang saling berebut cahaya. Pada saat itulah ketika aku membuka jendela, seketika aku menjelma burung kolibri….” Andini bicara sembari memandang pada lembah yang terjamah basah. “Setidaknya aku ingin menjadi merpati.”
Josephine yang mendengarnya, hanya tertawa. “Kalau aku punya keinginan seperti kamu, aku pasti memilih berubah menjadi ular!”
“Kenapa?”
“Biar aku bisa menyelusup masuk ke selangkanganmu. Aku akan mendekam dalam rahimmu. Atau mendekam dalam kepalamu. Biar aku mengetahui semua mimpi-mimpimu….”
“Nggak lucu!”
“Yap! Aku memang tidak sedang melucu.” Josephine sedikit mengangkat bahu. “Lagi pula kamu tidak membutuhkan aku untuk melucu. Kamu membutuhkanku untuk mendengarkanmu berkeluh-kesah soal perkawinanmu yang membosankan.”
“Terima kasih, sudah jadi psikolog gratisan!”
Lalu Andini kembali membuang pandang ke arah perbukitan, pada hutan cemara yang samar dan meliuk-liuk letih di bawah rerepih gerimis yang bagaikan bertih-bertih beras putih berhamburan diterbangkan angin. Andini menyukai tempat ini. Kafe yang menghadirkan sunyi, tetapi tidak menutup diri karena jendela-jendelanya yang besar dan lebar dibiarkan terbuka sehingga temaram ruang yang kecoklatan seakan berkarib dengan keluasan perbukitan. Sesekali ia bisa merasakan angin dan dingin yang ringan seperti belaian. Ia memilih tempat ini bila ia menginginkan perhatian. Ia memilih tempat ini bila ingin ketemu dengan Josephine.
“Kupikir, kamu mesti berani jujur terhadap dirimu sendiri….”
Andini hanya mendesah, terus memandang perbukitan itu pada cuaca yang sendu, ketika segalanya perlahan-lahan menjelma bentangan kelabu, dan ia kian merasakan kebosanan itu. Ia sudah mencoba mengatasi, tetapi kian hari ia kian merasakan betapa perkawinannya semakin membenamkan dirinya dalam keasingan yang tak kunjung ia pahami. Sering ia tergeragap bangun di malam hari, berasa kebah disesah gelisah, dengan jerit yang tersekat di kerongkongan. Betapa ia inginkan pelukan yang membuatnya sedikit merasa nyaman.
“Kupikir kamu benar, mestinya aku tak menikah,” desah Andini, lebih kepada dirinya sendiri.
Tetapi, entahlah. Ia tak yakin benar, apakah ia salah telah memutuskan menikah dengan Gunawan. Ketika laki-laki yang sudah dikenalnya sejak remaja itu melamarnya, ia tak merasa perlu berpikir dua kali untuk menjawab iya. Ia yakin, pernikahan akan membuat dirinya kian nyaman. Karena ia merasa memang begitulah hidup yang mesti dilaluinya: masa remaja yang ceria, kuliah, kerja, dan menikah. Ia selalu membayangkan hidupnya seperti sebuah kisah yang akan berakhir bahagia, dengan senyum paling lembut ketika kematian menjemput. Dulu Andini hanya tertawa setiap kali Josephine mengatakan hidupnya terlalu datar, steril dan licin bagai lantai porselin.
“Dulu aku sudah bilang, perkawinan lebih menyedihkan dari kematian…,” Josephine berkata.
“Itu karena kamu membenci perkawinan?!”
“Jangan salah paham, An,” Josephine tertawa renyah. Seringkali Andini merasa iri dengan Josephine yang bisa dengan riang memandang setiap persoalan. Bagi Josephine, hidup ini seakan-akan begitu gurih dan ringan seperti popcorn. “Aku sama sekali tak membenci perkawinan. Hanya aneh saja. Kupikir, perkawinan itu produk kebudayaan paling dungu yang pernah dihasilkan manusia. Kamu tahu, bagiku, datang ke pesta perkawinan jauh lebih menyedihkan daripada menghadiri prosesi kematian. Aku lebih bisa menerima kematian, karena kematian ialah suatu keniscayaan. Tak perlu kesedihan untuk sebuah kematian. Ia harus kita terima dengan lapang dada, karena kita memang tak bisa menghindarinya, karena kematian memang konsekuensi yang mesti ditanggung manusia. Tapi perkawinan? Bukankah kita bisa menghindarinya?! Kita selalu punya pilihan untuk tidak menjalani perkawinan. Artinya, kita punya pilihan yang bebas untuk menentukan apa yang kita pikir lebih baik buat hidup kita yang hambar dan sebentar. Kalau kita bisa bahagia tanpa perkawinan, lalu buat apa kita memilih perkawinan? Menyedihkan bukan, seseorang memilih perkawinan padahal tak ada jaminan hidupnya akan menjadi lebih bahagia setelah ia menjalani perkawinan? Kau tahu sendiri, Yesus dan Tuhan tidak menikah, dan mereka bahagia….”
Andini mendelik, tapi Josephine malah terkikik.
“Barangkali kamu perlu kejutan kecil untuk hidupmu yang membosankan itu. Kamu mesti melakukan sedikit variasi….”
“Bercinta di kamar mandi? Sambil nungging atau berdiri? Enam sembilan?”
“Tak cuma itu….”
“Lalu apa? Mencoba gimana rasanya gituan ama kamu?!”
“Sori, meski nggak percaya perkawinan, aku masih seratus persen doyan laki-laki!”
“Sialan!”
Sejenak saling diam, saling pandang, seakan mencoba saling mencari kepastian. Di mata Josephine, Andini terlihat begitu lembut dan rapuh, seperti kabut yang sebentar lagi runtuh. Pada saat-saat seperti ini, Josephine jadi merasa bersalah karena seringkali ia diam-diam begitu iri pada Andini. Adakah Andini tahu betapa sesungguhnya ia seringkali ingin menyakitinya? Semasa kanak-kanak, Josephine selalu ingin Andini bisa merasakan bagaimana sakitnya dicambuk berkali-kali oleh ayahnya yang pemarah. Tapi Andini menjalani masa kanak-kanak yang hangat. Juga masa remaja yang penuh pesta. Kemewahan yang melimpah, kemudian menikah. Semua itulah yang membuat Josephine diam-diam selalu merasa iri sekaligus juga mengagumi Andini. Ia iri karena selalu merasa tak bernasib baik seperti Andini, dan ia mengagumi karena selalu membayangkan betapa senangnya menjadi Andini. Selalu ada keinginan untuk menyakiti dan melindungi.
“Menurutmu, apakah aku mesti menyelamatkan perkawinanku?”
“Aku tahu, kamu-dan seluruh keluarga besarmu-tak pernah memikirkan perceraian sebagai penyelesaian. Tapi kalau kamu memang mesti menyelamatkan sesuatu, jangan hanya kau selamatkan perkawinanmu, tetapi juga hidupnya. Gairah dan keinginanmu, mimpi-mimpimu. Jangan buat perkawinanmu jadi kian menyedihkan.”
Tapi, barangkali perkawinanku memang sudah sedemikian menyedihkan, batin Andini. Hingga aku seringkali membayangkan betapa suatu hari aku menjelma burung kolibri, terbang tinggi melintasi pelangi di tengah keranuman musim semi….
Dan kesedihan itu kian ia rasakan, lebih cepat dari yang ia kira. Sesungguhnya Gunawan tetap punya perhatian, meski tak terlalu berlebihan. Kecupan-kecupan ringan, tetapi bukan lagi menjadi sesuatu yang tak terduga, melainkan lebih terasa sebagai kerutinan. Lalu aturan-aturan bahwa seorang istri semestinya tak kelayapan selepas jam tujuh malam. Sindiran- sindiran yang menyakitkan. Tak pantas seorang istri keluarga baik-baik berpakaian sexy, memperlihatkan belahan tetek dan pusernya. Ngapain juga pakai rok mini begitu! Pertengkaran dan hardikan yang membuatnya merasa terabaikan. Kemudian percakapan antara mereka lebih banyak memerihkan duka. Duka yang bahkan terasa di bulu-bulu mata.
Andini jadi merasa beruntung mengenal Josephine, yang selalu mau mendengar kesedihannya. Bagi Andini, Josephine adalah satu-satunya sahabat yang mau memahami dirinya. Karena itulah, Andini tak sungkan bercerita. Tak sungkan mengungkapkan perasaannya ketika kesepian kian menyesakkan, ketika ia ingin terbang jauh melintasi pelangi, ketika ia merasa betapa dirinya perlahan-lahan berubah menjadi burung kolibri. “Sungguh, Jos! Aku menjadi burung kolibri! Itulah hari paling menakjubkan. Begitu ringan, melayang-layang….”
Josephine tertawa, sebagaimana biasanya, kedengaran renyah seperti menikmati fried potatoes.
“Kamu nggak percaya?”
“Percaya. Percaya…,” Josephine masih menyimpan tawa, lebih berbinar dan kelihatan bahagia. “Aku percaya kamu lagi jatuh cinta! Selamat….”
Andini menepis tangan Josephine, tak bisa menyembunyikan kegugupannya. Sialan! Ia selalu bisa menerka perasaannya.
“Kenapa mesti malu mengakui? Bukankah pernah kubilang, menyelamatkan hidupmu jauh penting ketimbang menyelamatkan perkawinanmu yang membosankan…,” Josephine menarik kursi, lebih mendekat. “Ayolah, ceritakan, siapa laki-laki yang telah membuatmu menjadi burung kolibri….”
Andini menatap senja yang bagai menyimpan rahasia. Pada senja seperti ini pula ia bertemu laki-laki itu. Saat itu senja hampir lengkap, dan langit begitu halus serupa lakmus. Laki- laki itu muncul seakan-akan diantar melankoli alun Andrea Bocelli. Tu, per quello che mi dai, quell’emozione in più, ad ogni tua parola….
Dia ringan seperti nyanyian. Mereka bertatapan, sebentar. Hanya sebentar. Tapi Andini merasakan sesuatu yang begitu tergetar. Ada yang sulit diucapkan, tetapi laki-laki itu tampak lebih menakjubkan dalam diam. Rasanya seperti menikmati puisi, menghayati sunyi yang abadi, suasana tanpa kata-kata, suasana yang lama hilang dalam igauan dan mimpi-mimpinya. Saat itulah ia merasakan bulu-bulu sunyi bertumbuhan di sekujur tubuhnya. Bulu-bulu yang halus dan bersih, putih merepih. Saat itulah Andini mendapati dirinya telah menjelma menjadi burung kolibri. Dan laki-laki itu menghampiri, tidak dengan kata-kata, tapi dengan sapaan yang lebih teduh dari nyanyian yang membuat ruangan terasa rindang, juga lebih terang.
Perché la solitudine, che non sorride mai,
diventa l’abitudine, e non la scelta che tu fai.
Pertemuan demi pertemuan, selalu berulang dan kembali seperti gema yang panjang. Dan Andini tahu laki-laki itu, seorang penyair yang menciptakan keajaiban-keajaiban dengan kata-kata. Namanya Adam.
“Kau tahu, Jos…,” desah Andini, sedikit menunduk, mengakhiri cerita. “Pertama kali mendengar namanya, aku merasa berkenalan dengan awal mula dosa.”
“Hmm. Dosa. Aku kira itu akan membuatmu kian lengkap sebagai manusia.”
“Ini rahasia kita….”
Ah, rahasia. Josephine menyandarkan punggugnya ke kursi. Alangkah banyak rahasia antara kita, batinnya. Adakah kamu ingin tahu rahasia apa yang aku sembunyikan dari kamu? Biarlah masing-masing kita bahagia dengan rahasia kita.
“Please, Jos, jangan sampai Gunawan tahu.”
Josephine diam, hanya tersenyum-seakan ingin menegaskan: aku jauh lebih bisa menyimpan rahasia lebih dari yang kamu kira.
“Lakukan, apa yang menurutmu mesti kamu lakukan. Selama kamu menikmati…,” kata Josephine. “Dan kuharap kamu memang benar-benar menikmatinya. Karena aku tahu, seks itu seperti semangkuk sup. Begitu kamu merasa enak mencicipinya, kamu akan menghabiskan semangkuk sup itu, dan ingin menambahnya….”
Keduanya tertawa. Hidup memang terasa gurih dan renyah bersama Josephine. Senja jadi lebih megah ketika perselingkuhan terasa ringan. Sentuhan lembut di telinga, kecupan ringan di puting susunya, semuanya terasa menakjubkan dalam kenangan. Si, adesso ci sei tu, nei sogni e nelle idee, nell’immaginazione…. Lebih menghanyutkan dari suara Helena yang membuatnya terlena ketika laki-laki itu mulai memasukinya….
Bersama Adam, Andini selalu menjelma burung kolibri. Adam memahami mimpi-mimpinya, barangkali karena ia seorang penyair. Andini sering menyaksikan dari jemari Adam berhamburan kata-kata yang meletup pecah di udara menjadi kupu-kupu. Kadang menjelma kunang-kunang, menjelma burung merpati. Kata-kata itu pula yang selalu mengubah Andini menjadi burung kolibri, terbang tinggi melintasi pelangi di tengah keranuman musim semi.
“Setiap bersamamu, aku merasakan saat-saat paling rawan dan membahagiakan dalam hidupku…,” katanya, dengan suara lirih seperti tengah membaca larik-larik sajak yang melankolis, sambil merentangkan tangan kanannya, menggapai udara, seakan memetik sesuatu dari kehampaan. Dan, tass, mendadak tangannya telah menggenggam sebutir apel. Merah. Ranum. Apel yang tercipta dari keajaiban kata-kata.
Andini melonjak bahagia ketika apel itu melayang-layang di hadapannya. Kemudian keduanya berdiri berhadapan, saling menyentuhkan tangan. Ah, betapa dari jarak lebih dekat Andini mendapati tubuh laki-laki itu jauh lebih berkilat, berkeringat penuh hasrat. Struktur tulangnya tampak begitu nyata. Dadanya yang tak bidang, samar memperlihatkan garis-garis kosta. Tangannya pipih, begitu bersih. Terasa lebih menggairahkan ketika bercinta bukan semata kewajiban dan kerutinan. Andini kian terpesona ketika laki-laki itu bergerak, pelan, lamban tapi bertenaga, seperti menari….
Lalu Andini rasakan desir yang perlahan-lahan mulai berpusaran. Ia mendengar desah kabut yang basah, melayah menyentuh permukaan tanah. Ada kesejukan yang membasah, menggetarkan kerimbunan hijau daun. Gemercik air. Geletar sayap kupu-kupu yang terbang di kejauhan. Ia dengar tiupan flute yang lembut, menghamparkan padang rumput, juga harum lumut. Kemudian alunan piano, mengantarnya ke sebuah danau. Bunyi-bunyi perkusi yang menghadirkan berbagai imaji, hingga kelopak-kelopak bunga seketika terbuka. Andini dapat menangkap helai-helai cahaya yang berkeredap bagaikan lembaran-lembaran kain yang berkibaran pelan membungkus tubuhnya. Ia merasakan tubuhnya perlahan-lahan terangkat, mengapung di arus waktu. Seakan-akan berada di keluasan cuaca tak bernama, dengan lengkung langit lembayung bagai payung, menahan lindap cahaya yang muncul dari punggung gunung. Kadang seperti sebatang ilalang, tubuhnya melayang-layang melintasi keluasan padang. Namun seketika itu juga ia merasa berada di tengah telaga yang sejuk dan rimbun oleh gulma. Lalu ia melintasi kerimbunan pinus, tegak lurus, lembab humus.
Kamar terasa bergetar. Lagu paling merdu, merembes dari dinding. E sono qui con te, e non ti lascerò, ti chiedo di fermarti qui, e stare insieme a te…. Dan lilin-lilin merah terangkat ke udara, melayang berkitaran. Andini mendesah. Merasakan tubuhnya membasah. Ada yang bersikeras membuncah, gairah yang sebentar lagi pecah! Aahhh….
“Ya, Tuhan…,” Andini menggigit bibirnya hingga berdarah. “Aku orgasme!!”
Ciuman yang gugup, dan Andini segera menutup pintu, menghambur ke jalan sambil mencermati kancing dan merapikan kelim gaunnya. Ia langsung menyetop taksi yang pertama lewat. Bukan saat yang tepat untuk memilih-milih taksi.
“Cepat, Bang!”
Ya, ia mesti cepat pulang. Sebelum Gunawan sampai di rumah. Ia mesti mandi. Bau tubuh laki-laki itu terasa lekat di kulitnya. Ia ingin tak ada tilas, tak ada bekas.
“Bisa lebih cepat?”
“Macet, Bu….”
Andini mendengus. Waktu seakan mengincarnya dengan kutukan. Sedetik saja terlambat, rumahnya akan berantakan. Keramik-keramik akan dibanting ke lantai. Dilempar ke arahnya. Lalu makian. Mungkin juga sekian tamparan. Lalu seluruh keluarganya tahu. Ia akan dipelototi sebagai pesakitan. Sebagai istri yang tak bisa menjaga perasaan suami. Andini meraih handphone-nya. Tak ada SMS masuk. Tak ada missed call dari Gunawan. Ia merasa sedikit nyaman. Ia tak merasa perlu mengarang alasan kenapa tak membalas SMS atau mengangkat handphone.
Tidak, ia tidak takut kehilangan Gunawan. Karena ia yakin laki-laki itu pun tak punya keberanian menceraikannya. Ia hanya takut disalahkan keluarga besarnya. Papa mamanya. Oom dan tantenya. Lagi pula ia memang tak pernah membayangkan atau punya keinginan menikah dengan laki-laki itu, dengan Adam, meski ia membuatnya menjadi burung kolibri. Laki-laki itu memang memahami mimpi-mimpi dan fantasinya. Tapi ia merasa laki-laki itu akan cepat membosankan dalam sebuah perkawinan. Sepanjang ia tahu, penyair selalu merepotkan ketika menjadi seorang suami.
Ia dapati rumah yang sunyi. Andini sedikit merasa lega. Ia berharap Gunawan pulang lebih terlambat. Semakin terlambat semakin ia bisa menata kerusuhan hatinya. Kini ia hanya perlu mandi agar merasa segar. Tapi bagaimana kalau tadi Gunawan sudah menelepon rumah? Bertanya pada Bik Jamri, apakah ia di rumah? Bila Andini menanyakan hal itu kepada Bik Jamri, malah akan membuat pembantu itu menatapnya curiga. Ia selalu merasa betapa Bik Jamri selalu memata-matainya. Maklum, Bik Jamri masih kerabat jauh Gunawan yang dibawa dari desa. Mungkin Gunawan juga sudah menelepon Rahmat, sopir pribadinya. Ke mana Nyonya pergi? Kenapa tidak kamu anter? Itu hal biasa dilakukan Gunawan untuk mengecek keberadaannya. Ke mana ia pergi, urusan apa, dengan siapa.
Sungguh, ia butuh dewa penyelamat! Dan Andini langsung ingat Josephine. Ia akan menjelaskan kalau tadi ia pergi dengan Josephine. Biarlah nanti Josephine yang mengarang ke mana mereka pergi hingga ia pulang terlambat. Segera Andini menghubungi handphone Josephine.
“Jos….”
“Hai….”
“Mengganggu?”
“Nggak. Ada apa…,” terdengar suara Josephine yang pelan dan rendah.
“Aku mau minta tolong. Nanti kalau Gunawan telepon kamu, bilang kalau tadi seharian aku sama kamu….” Lalu Andini merasa lebih tenang. Ia percaya Josephine tahu maksudnya. Ia percaya Josephine memahaminya. “Oke, Jos? Makasih lho….”
Andini meletakkan telepon.
DI kamar hotel yang temaram, Josephine duduk termangu di tepi tempat tidur. Hampir saja ia tak menguasai perasaannya. Sialan! Ia lupa mematikan handphone. Keteledoran kecil yang bisa berakibat fatal.
“Dari siapa?”
Josephine menatap laki-laki yang bertanya itu. Tatapannya mendamba, begitu manja. Seperti kucing anggora. Laki-laki memang seperti kucing anggora, ia akan selalu nurut dan manja bila kita bisa menaklukkan hatinya.
“Kok diam?”
Josephine bergerak ke tengah ranjang, membiarkan selimut yang menutupi dadanya melorot.
“Telepon dari siapa?”
“Andini….”
“Apa dia mulai mencurigai kita?”
Josephine tak menjawab. Ia hanya menyurukkan wajahnya ke dada Gunawan.
Jakarta-Yogyakarta, 2003
“L’abitudine”, satu lagu gubahan Pierpaolo Guerrini dan Giorgio Calabrese, yang dinyanyikan Andrea Bocelli dan Helena (Lihat album Andrea Bocelli “Cieli di Toscana”).

Malam Pertama Calon Pendeta

cerpen: Gde Aryantha Soethama
Karena pendirian Ni Krining yang kukuh dan tulus terus-menerus, Aji Punarbawa perlahan-lahan melunak juga. Ia menerima, kendati tak rela, dan bingung, bagaimana mungkin seorang istri setia mendesak suami kawin lagi? Jangan-jangan ini siasat, agar perempuan itu bisa melepaskan diri. Sudah berulang kali Aji menolak, sekian kali pula Krining mendesak.
“Engkau yang memutuskan, Ning. Jika engkau menolak, tetap tak akan ada pendeta di keluarga besar ini.”
”Berulang saya sampaikan, saya menerima. Bukankah saya mendesak terus agar Aji segera madiksa jadi pendeta?”
”Aku mengerti, tapi, itu berarti aku harus….”
”Harus kawin lagi, dan perempuan itu mesti seorang brahmana. Keluarga segera memilihkan untuk Aji.”
Semula Krining bimbang, sampai kemudian ia berada di simpang jalan, antara mempertahankan keutuhan rumah tangga dan mengembalikan martabat keluarga besar suami.
”Ini bukan semata masalah suami-istri. Ini urusan keluarga besar, dan mereka mengharap pengorbanan saya. Apa salah kalau saya bersedia?”
Tidak semua orang menganggap tindakan Krining sebagai pengorbanan. Banyak yang menilai sebagai keharusan dan kepatutan, karena ia bukan perempuan brahmana. Memang, keluarga Aji Punarbawa tidak menolak pernikahan mereka, tapi tidak berarti mereka sepenuhnya merestui. Bahkan tidak sedikit yang menyayangkan, mengapa Aji tidak memilih perempuan brahmana saja, agar keturunan mereka berhak jadi pendeta.
”Tidak apa-apa, kalau memang sudah jodohmu,” ujar ibu Punarbawa dengan suara datar, terasa ia menerima dengan terpaksa.
”Bersyukurlah kamu, karena bisa memilih calon istri dengan bebas, tanpa direcoki keluarga besar,” komentar ayahandanya. ”Ini awal baik membangun rumah tangga bahagia. Istri akan patuh, anak-anak bakal menghormati ayahnya. Kamu akan jadi kepala keluarga bermartabat.”
Martabat itu memang berhasil menjadi mahkota keluarga Krining dan Aji, tapi tidak bagi keluarga besar brahmana di Gria Rangkan. Mereka merasa sudah sangat lama kehilangan martabat, karena tak seorang pun berminat meneruskan tradisi kependetaan. Pegangan hidup kependetaan terbenam dalam puluhan lontar berdebu di gria itu, teronggok usang di sebuah almari kayu jati tinggi besar. Tak seorang pewaris pun tertarik mempelajarinya. Tiga generasi Gria Rangkan lebih memilih jadi pegawai negeri, dosen, guru, dokter. Yang lain jadi pengusaha, politikus. Selebihnya karyawan hotel, penari dan sopir taksi. Mereka tak peduli pada tinggi gelar kebangsawanan untuk mengambil pekerjaan rendah sekalipun. Bagi mereka ilmu kependetaan terlalu kalem dan teduh, tak ada riaknya. Untuk apa menghukum diri dan mengekang indra dengan mempelajari dan mengamalkan ajaran-ajaran usang tentang adat dan agama?
Tapi, ketika orang-orang brahmana itu beranjak tua, mereka mulai sadar harus ada yang meneruskan riwayat kependetaan di Gria Rangkan. Bertahun-tahun kesadaran itu mengendap dan mengental, tetap tak seorang pun bersedia dikukuhkan sebagai pendeta. Mereka justru ingin menikmati ketenangan dan kebebasan ketika uzur, tidak mengisinya dengan kelelahan menjadi pelayan umat. Harapan pun ditumpahkan pada Aji Punarbawa, seorang guru agama sekolah menengah.
”Kamu yang paling cocok menjadi pendeta, bukankah sebagai guru agama kamu paham banyak tentang filsafat, etika dan upacara?” rajuk para tetua.
Aji tak berminat, ia punya alasan untuk itu. ”Apakah tidak keliru menunjuk saya? Istri saya bukan wanita brahmana. Saya tak berhak jadi pendeta.”
”Ah, gampang mengaturnya, itu masalah kecil. Yang penting kamu bersedia!”
”Saya tak sudi jadi pendeta karena akal-akalan. Itu melanggar hukum kaum brahmana, kutukan taruhannya,” serang Aji.
Para tetua itu terkekeh-kekeh. ”Tak ada yang dilanggar. Kita menempatkan perempuan sederajat laki-laki. Jika seseorang madiksa sebagai pendeta, istrinya akan jadi pendeta pula.”
”Tapi, istri saya bukan seorang brahmana.”
”Tidak ada larangan kamu beristri lagi dengan perempuan brahmana.”
Aji segera menemui Krining, memeluknya, karena ternyata ia sudah mendengar semua rencana itu, tapi ia pendam sampai Aji menyampaikan langsung.
”Ini rencana gila dan dungu, Ning! Kenapa kita mesti menerima?”
”Karena jika Aji bersedia, semua orang akan lega dan bahagia.”
Aji Punarbawa terbelalak. ”Engkau bahagia jika aku kawin lagi?”
Krining mengangguk. ”Ya, jika itu demi syarat Aji jadi pendeta.”
Aji mendatangi semua tetua di Gria Rangkan, menyampaikan ia menolak jadi pendeta. Ia tak mau kawin lagi, tak sudi menyakiti istrinya.
”Kalau begitu, kita dengar pendapat Krining. Dia yang memutuskan nasib dan kehormatan gria ini,” jelas para tetua.
Dalam pertemuan yang dihadiri semua brahmana sudah berkeluarga, Krining menyampaikan keikhlasan jika suaminya kawin lagi. ”Ini kehormatan dan kesempatan bagi hamba untuk menunjukkan keluhuran budi,” jelasnya.
”Engkau perempuan ajaib yang pernah kukenal, Ning,” ujar Aji malam terakhir ia punya seorang istri. Besok pernikahan akan dilangsungkan, selepas tengah hari. Empat puluh dua hari kemudian pasangan itu akan dikukuhkan sebagai pendeta.
Aji Punarbawa menatap Krining yang duduk di tepi ranjang dengan seprai baru dicuci. Aroma segar dan harum menebar ke seluruh ruangan. Temaram lampu di sudut membuat tubuh Krining tampak lebih jenjang, seperti bayang-bayang senja. Aji duduk di samping meja jati dengan kedua telapak tangan di atas lutut.
”Pasti engkau punya alasan melakukan semua ini. Katakan dengan jujur, Ning.”
”Dulu Gria Rangkan tempat pendeta-pendeta bijak dan sakti, Aji. Tapi, sudah tujuh puluh tahun tak ada lagi pendeta di sini. Sudah saatnya…”
”Itu bukan alasanmu, Ning. Itu ocehan semua brahmana tua di gria ini. Mereka cuma mau menikmati, tak sudi dibebani, ingin tampil sebagai pahlawan tanpa harus bertindak dan berkorban. Aku ingin mendengar alasan dari hatimu, yang jujur dan sejati, karena engkaulah yang berkorban.”
Krining menatap mata Aji dalam temaram sinar. Ia sangat mencintai laki-laki yang lima belas tahun bersamanya, dan memberi dua anak itu. Ia dirasuki bayangan masa muda, tatkala bersua seorang brahmana yang sudi memilih perempuan biasa sebagai istri. Perlahan-lahan matanya hangat, terkenang bagaimana dulu ia meminta agar Aji meninggalkan saja dirinya, sehingga ia bebas memilih perempuan lain dari kaum brahmana pula. Jika kemudian mereka akhirnya menikah, tentu ia benar-benar perempuan pilihan, yang ditakdirkan hidup dalam hiruk-pikuk orang-orang brahmana modern.
”Katakan Ning, apa pun tak akan mengubah keputusan. Kalian sudah keluar sebagai pemenang. Aku cuma ingin mendengar kata hatimu.”
”Saya hanya ingin lontar-lontar itu ada yang membaca dan melakoni.”
Aji tertawa. ”Jangan bercanda, Ning. Aku bersungguh-sungguh. Engkau menyimpan sesuatu yang harus dijelaskan.”
Krining meremas tepi ranjang dengan kedua tangan, dan tetap menatap Aji. Mereka beradu pandang seperti saling menerka isi hati.
”Selain Aji, tak ada yang menggubris keberadaan saya di gria ini,” ujar Krining berusaha tenang. ”Sekarang saya punya kesempatan untuk dihargai. Sungguh luar biasa, ketika para brahmana meminta pendapat saya, membujuk dan memelas agar saya sedia berkorban. Mereka akhirnya harus mengakui, yang mengembalikan wibawa kependetaan dan kesucian Gria Rangkan adalah seorang perempuan biasa.”
Aji Punarbawa melangkah mendekati Krining, mengangkat betis dan merengkuh lututnya, kemudian merebahkannya pelan-pelan di ranjang.
”Tidakkah semua itu berarti engkau lebih menghargai orang lain dibanding diri sendiri?”
Krining tak menjawab, ia tersedu dalam pelukan laki-laki yang mutlak menjadi miliknya hanya saat itu. Aji memberi kehangatan seperti hanya malam itu yang tersisa. Krining menikmatinya dengan raga dan jiwa membuncah, seolah tak ada lagi malam-malam lain bersama suaminya kelak. Mereka menikmati sepenuh malam itu hingga waktu memisahkan, karena pagi tiba, dan Aji harus bersiap melangsungkan upacara perkawinan.
Aji memberi kecupan di kedua mata dan dahi ketika melepas istrinya. Krining melipat seprai yang terpilin-pilin, masih terasa hangat, dan lembab di bagian tengah. Nanti malam ranjang itu akan berselimut seprai baru, untuk Aji bersama perempuan lain. Krining beranjak lima puluh langkah ke barat, ke sebuah kamar di bawah jineng, tempat menyimpan hasil panen. Jineng itu tak lagi digunakan, karena hasil panen sudah dijual langsung di sawah.
Krining membersihkan dipan, menutup kasur kusam dengan seprai yang masih kuat menyisakan bau peluh percintaan mereka. Ia mengunci diri, bersimpuh di lantai, bersamadi menenangkan dada yang berdebar-debar, menguatkan jiwa yang gundah dan getir. Selepas tengah hari ia mendengar gelak tawa genit dan meriah ketika upacara pernikahan berlangsung. Guyonan-guyonan jorok oleh mereka yang menyaksikan perkawinan itu, di antara suara genta, menampar-nampar telinganya. Matanya hangat, sekuat perasaan ia mencoba tidak menangis.
Ia tetap di kamar ketika malam tiba, berusaha sekuat tenaga agar tidak diganggu oleh bayangan gairah pasangan calon pendeta itu menikmati malam pertama. Waktu terasa beranjak malas dan sangat lamban. Dinding-dinding kamar mengepung dan mengimpit, atap bagai hendak ambruk menimpa, membenamkan tubuhnya dalam-dalam ke lantai. ”Kuatkan jiwa hamba, Hyang Widhi,” dia berdoa lirih tanpa henti. Tubuhnya lemas, perasaannya lunglai.
Ketika hendak merebahkan diri di ranjang, ia mendengar suara gaduh beruntun dari arah timur, disertai jerit perempuan berulang-ulang disela isak tangis. Sudah larut malam, saat Krining mendengar langkah terseret-seret menghampiri jineng.
Pintu diketuk berulang-ulang, suara lelaki memanggil-manggil. ”Buka, Ning, buka!”
Krining terkesiap, di hadapannya Aji Punarbawa berdiri dengan napas tersengal-sengal. Di belakangnya seorang perempuan telanjang bersimpuh merunduk tersedu sedan.
”Aku tak sanggup melakukannya, Ning,” ujar Aji dengan tubuh gemetar. ”Terus-menerus aku teringat dirimu yang pasti dirundung sakit hati dan sunyi.”
”Saya meminta, karena Aji suami saya,” isak perempuan bersimpuh itu buru-buru menjelaskan, agar tidak disalahkan. Rambutnya tergerai menggerayangi pinggulnya yang mulus, padat dan kencang.
Krining tak mengerti, mengapa Aji menolak melakukan tugas mulia yang menggairahkan di malam pertama. Tubuh ranum perawan itu dengan sepasang kuntum payudara segar, yang terguncang-guncang menahan deras isak, pasti menantang berahi lelaki mana pun. Bagaimana bisa Aji Punarbawa tak tergoda hanya karena terganggu oleh bayangan derita istri?
Perlahan Krining menarik seprai, agar debu dari kasur kusam tidak beterbangan. Ia gamit pundak perempuan itu berdiri, dan menyelimuti tubuhnya yang telanjang dengan seprai. Betapa lemas jemari perempuan itu terasa oleh Krining ketika menuntunnya kembali ke kamar pengantin, lima puluh langkah ke timur. Aji Punarbawa mengikuti seperti seekor anak kucing membuntuti induknya. Di depan pintu Krining melepas seprai dan meminta perempuan yang dibalut gairah itu memasangnya di ranjang. Aji bengong dan bingung melihat tingkah istrinya.
”Sekarang Aji pasti sanggup,” ujar Krining. ”Bayangkan malam pertama ketika Aji menggumuli saya. Hirup bau keringat kita di seprai, semua akan berlangsung seperti biasa.”
”Berarti aku memerkosa, karena melakukan tanpa cinta.”
”Tak apa, tebuslah empat puluh dua hari nanti, ketika Aji madiksa jadi pendeta,” ujar Krining seperti bercanda.
Aji Punarbawa membungkukkan badan, perlahan-lahan duduk bersila, mencakupkan kedua tangan di depan dada dengan takzim, kemudian memeluk betis Krining dan mencium lututnya.
”Tak pantas calon pendeta menyembah perempuan biasa, Aji.”
”Engkau wanita luar biasa, Ning.”
Seprai sudah terpasang, perempuan itu tergolek telanjang menunggu penuh harap berlumur berahi. Terbayang zaman gemilang yang akan dilaluinya sebagai penampung benih penerus generasi kependetaan Gria Rangkan.
Krining membimbing Aji berdiri, menuntunnya masuk kamar, lalu menutup pintu dari luar. Setenang dan setegar mungkin ia berusaha menempuh lima puluh langkah ke barat, kembali ke jineng. Dalam sunyi hening ia terkenang para leluhur, yang ia yakini selalu mengawasi perilakunya sehari-hari. Di depan pintu ia terpekur, berdoa semoga leluhur merestui tindakannya, dan tidak menghujatnya sebagai perempuan bodoh yang menistakan diri sendiri.
Sudah lewat tengah malam ketika Krining merebahkan diri di dipan dengan kasur kusam, tanpa seprai. Namun, ia merasa sangat nyaman, tetap sebagai perempuan biasa.
Denpasar, Mei 2009

Minggu, 15 Mei 2011

Lelaki Saya

Raffahnya Perempuan:
kalau ditanya, bagaimana saya menyempurnakan hidup sebagai perempuan....
saya tulis nama dia "lelaki saya ini" sebagai jawabannya.
selintas, apa nama perjalanan yang akan kami singgahi, juga alamat sebuah rindu yang kami cari.
seperti mencari kekunang...dihatinya saya temukan.

BUKU BARU DJENAR MAESA AYU: 1 PEREMPUAN 14 LAKI-LAKI

Buku terbaru Djenar Maesa Ayu, 1 Perempuan 14 Laki-laki akan di-launching pada 14 Januari 2011 besok, bertepatan dengan ulangtahun penulis yang juga sutradara film itu. Tapi, buku itu sendiri sudah bisa di dapat di toko buku pada: 11-1-11 (baca: tanggal selas bulan satu tahun duaribu sebelas). Sebelum buku ini, buku terakhir Djenar adalah Cerita Pendek tentang Cerita Cinta Pendek, hampir lima tahun lalu. Sudah pasti, terbitnya buku baru Djenar ini, bisa menjawab rasa penasaran pembaca yang menyukai karya-karyanya: seperti apa buku ini? Adakah yang baru atau berubah?
Satu point yang menarik adalah: dalam buku 1 Perempuan 14 Laki-laki ini, Djenar berkolaborasi dengan 14 orang laki-laki, dengan latar profesi yang beragam. Saya, kebetulan ada di antara ke 14 “laki-laki yang beruntung” itu. Eghmmm. Saya dan Djenar bisa menyelesaikan satu cerpen: Kunang-kunang dalam Bir. Cerpen ini, sempat muncul di Kompas.
Cerpen-cerpen lain ditulis Djenar bersama Enrico Soekarno (Cat Hitam Berjari Enam), Indra Herlambang (Menyeruput Kopi di Wajah Tampan), Sardono W Kusumo (Rama Raib), Totot Indrarto (Kupunyakupu), Jerinx JRX (Kulkas. Dari. Langit.), Arya Yudistira Syuman (Matahari di Klab Malam), Sudjiwo Tedjo (Rembulan Ungu Kuru Setra), Richard Oh ( Nafas dalam Balon Karet), Nugroho Sukmanto (Bukumuka), Lukman Sardi (Ra Kuadrat), Robertus Robet (Dijerat Saklar), Romo Mudji Sutrisno (Polos), Butet Kartaredjasa (Balsem Lavender). Hmm, melihat latar belakang nama-nama itu, apa yang langsung Anda bayangkan, bukan tentang Djenar-nya tentu saja, tapi tentang bukunya!
Kita kenal Lukman Sardi seorang aktor film, Jerinx JRK adalah salah satu pentolan band Superman is Dead, Sudjiwo Tedjo seniman dan intelektual serba komplit, Sardono W. Kusumo adalah penari dan koreografer tari yang banyak mempengaruhi sejarah dan pertumbuhan tari Indonesia kontemporer saat ini.
Apa kata Djenar, perihal bukunya ini, baiklah, saya bocorkan sedikit pengantar yang ditulisnya untuk buku 1 Perempuan 14 Laki-laki:

Saya selalu percaya bahwa inspirasi bukanlah sesuatu yang bisa saya datangkan, namun inspirasilah yang mendatangi saya. Maka disiplin yang saya lakukan adalah, selalu setia di depan laptop ketika sedang ada waktu senggang sehingga akan selalu siap mentransformasikan insipirasi ke dalam teks ketika ia datang. Selanjutnya, biarkan diri saya menjadi objek dan teks yang menjadi subjeknya. Biarkan teks itulah yang menjadi raja.
Hal inilah yang saya tawarkan kepada Agus Noor: Menulis tanpa konsep. Seperti yang Agus Noor sudah tulis di blognya dengan judul “Kunang-Kunang dalam Bir” –sesuai dengan judul cerpen yang akhirnya berhasil kami tulis berdua– kami akan mencoba menulis bergantian kalimat perkalimat. Begitulah kesepakatan kami sambil menikmati secangkir kopi hangat.
Sebelum malam mulai larut, dan kopi sudah berganti bir yang dengan segera berpindah ke perut, saya terinspirasi untuk menulis kalimat pertama. “Di kafe itu, ia meneguk kenangan.” Setelah itu saya menyodorkan laptop ke arah Agus Noor untuk dibaca dan dilanjutkan. Demikian seterusnya. Awal kesepakatan untuk menulis bergantian kalimat perkalimat, akhirnya kami bebaskan kepada perasaan kami saja. Apabila baik saya maupun Agus Noor masih asyik menulis lebih dari satu kalimat, tidak ada salah satu dari kami yang berusaha menghentikannya.
Jika Agus Noor mengumpamakan proses kreatif kami sebagai dua petinju yang sedang saling menukar jurus-jurus pukulan, saya lebih senang mengumpamakannya sebagai dua orang yang sedang kasmaran sehingga selalu ingin memahami dan menyenggamai masing-masing pikiran. Selalu ingin berdekatan dengan bibir yang saling berpagut pada lidah yang melulu ingin memenuhi tiap ruang kosong. Dan dalam situasi seperti itu, pikiran sepasang manusia yang kasmaran ini pun bolong. Hanya intuisi yang menggerakkan tiap indera perasa. Mereka lupa dan merdeka, karena ada faktor lain yang bekerja, yaitu rasa kasmaran atau cinta. Cinta, yang saya perumpamakan sebagai teks inilah satu-satunya subjek yang menuntun gerakan jari kami berdua ketika menulis bersama.
Kami menyelesaikan satu cerpen hingga dini hari. Walaupun saya sudah terbiasa menulis tanpa konsep, namun berhasil menulis berdua dengan cara seperti itu tetap saja membuat saya takjub. Saya pun mulai berpikir, bagaimana jika saya melakukannya bukan dengan seorang penulis? Apakah cara menulis tanpa konsep seperti itu akan berhasil juga?
Akhirnya saya menghubungi beberapa sahabat, yang dengan segera menyambut ide saya dengan hangat. Kali kedua saya menulis dengan Totot Indrarto, seorang krikitus film yang sering memanggil saya dengan sebutan monyet. Hal yang terjadi selanjutnya, tidak berbeda dengan apa yang saya lakukan dan rasakan dengan Agus Noor. Kami berhasil menyelesaikan satu cerpen dalam waktu satu hari. Saya ingat benar, kami memulainya pukul delapan malam hingga jam empat pagi. Saya pun semakin percaya diri dan selama lima hari berturut-turut menulis bergantian dengan beberapa sahabat laki-laki: Sudjiwo Tedjo, Sardono W. Kusumo, Enrico Soekarno, Indra Herlambang, dan kakak tertua saya, Arya Yudistira Syuman.
Menulis bersama yang bukan penulis bagi saya adalah sebuah pengalaman yang sangat mengesankan. Banyak medium di luar teks yang begitu menggugah perasaan. Salah satunya adalah menulis dengan Mas Sardono. Ketika Mas Sardono berbicara, ketika ia mengerjapkan matanya setiap kali mencoba mengingat satu peristiwa, ketika tangannya bergerak menirukan gaya sebuah karya tari, ketika pada akhirnya saya mengantar dari coffeewar menuju rumahnya yang juga masih berada di daerah Kemang dengan berjalan kaki, segalanya mengalir bagai sebuah tarian. Pada saat itu pun saya segera sadar, jika Mas Sardono tengah menulis dengan begitu apik lewat tubuhnya dan hal inilah yang harus segera saya tumpahkan ke dalam tulisan.
Pengalaman yang cukup unik juga saya rasakan ketika bertemu Jering, salah satu personel band Superman Is Dead, yang juga dikenal dengan inisial JRX. Tidak seperti sahabat-sahabat lain, saya belum pernah berjumpa dengan Jering sama sekali. Kami saling mengenal lewat salah satu situs pertemanan di Internet. Yang menarik saya untuk mengajaknya bekerja sama, tidak lain karena tulisan-tulisan pendeknya di situs pertemanan tersebut. Pada satu kesempatan berlibur dengan anak-anak ke Bali, Pulau Dewata tempat Jering berdomisili, saya pun menyempatkan waktu untuk menulis bersamanya. Di sebuah Diner miliknya yang riuh, kami tidak saja berusaha memahami teks yang kami saling ketik, namun lewat teks jualah kami mengawali awal persahabatan yang begitu instan. Dan cukup dua kali pertemuan yang kami butuhkan. Satu cerpen pun berhasil kami selesaikan.
Apakah semudah itu?

Sttt, sudah ah,  bocorannya. Lebih baik Anda tunggu buku itu, dan baca sendiri cerita-ceritanya.

Lintang

cerpen: Rieke Diah Pitaloka
Mengenang perempuan itu ibarat menonton cukilan-cukilan adegan yang diam-diam menyatu dalam sebuah film. Wajahnya seperti embun, matanya bening. Bibir mungilnya selalu tersenyum membuat setiap orang yang bertemu ingin menyapa. Ia seorang perempuan yang merancang sendiri kehidupannya. Sejak remaja ditentukannya apa yang akan ia lakukan, kapan akan menikah, dengan laki-laki seperti apa, akan punya anak berapa, seperti apa akan membesarkan mereka, itu semua sudah ia pikirkan. Perempuan itu menggoreskan sendiri takdirnya.
Saat berusia dua puluh tahun ia jadi ibu dari dua anak, satu perempuan dan satu laki-laki. Sebuah peristiwa telah mengubah impiannya, jadi mimpi menyeramkan. Sekolah tempat ia bekerja dibakar. Ayah dan suaminya menghilang entah ke mana. Tinggallah ia bersama ibu, delapan adik, dan dua anak di rumah masa kecilnya. Tak ada yang mau mendekati rumah itu. Beberapa orang bahkan melempari temboknya dengan tinja. Siang hari hanya mereka yang bersepatu lars sesekali terlihat ke luar masuk. Malam hari rumah itu bagai bayangan besar yang pekat, gelap, tak ada terang setitik pun. Pintu dan jendelanya tetap terbuka. Engsel-engselnya menjerit saat angin menyentuh. Tapi perempuan itu tahu kadang ada nafas-nafas lain selain ia, ibu, adik dan anaknya. Mereka, gerombolan bersarung yang siap menggasak apa saja, termasuk nyawa sekalipun. Menurut kabar, mereka telah penggal beratus, bahkan beribu kepala manusia di sepanjang Kali Brantas. Karena itu, setiap kali mereka datang, malam pun jadi sesak. Perempuan itu bersama ibunya akan berjaga-jaga di balik pintu kamar sambil berdoa. Saat semburat pertama mengembang di ufuk timur, perempuan itu menghitung tubuh-tubuh yang berjejal di kolong dipan.
“Delapan, lengkap!”
Anak perempuannya lelap di dekapan ibunya yang pulas di sudut kamar.
“Lengkap….”
Ia pun tertidur sambil memeluk anak laki-lakinya.
Tahun hampir berujung, namun satu interogasi ke interogasi lain seolah tiada akhir. Awalnya perempuan itu menggigil saat pertama kali digiring ke markas. Kali ketiga ia mulai terbiasa, bahkan ia sudah bisa tersenyum saat menjawab pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan yang sama, yang ia jawab dengan jawaban yang juga selalu sama: tidak tahu! Ia memang sungguh tak tahu di mana ayah dan suaminya berada. Tapi ia sudah tahu takdir kedua lelaki itu, mereka tak mati, tak boleh mati. Dan, ia putuskan untuk melukis pencarian di setiap jengkal kota.
Perempuan itu tahu pasti ayah dan suaminya tak mati. Detak jantung kedua lelaki itu terus memanggil-manggil, mengajaknya melangkah ke penjara Tangerang. Di halamannya yang kering, keduanya hampir tak bisa dibedakan dengan ratusan lelaki lain yang sedang berdiri dalam barisan, kurus dan kumal. Sejak itu, setiap minggu senyum perempuan itu jadi penguat bagi mereka untuk tetap memberi jawaban yang sama pada petugas: tidak tahu!
Satu tahun sudah peristiwa itu berlalu. Perempuan itu masih tinggal di rumah masa kecilnya. Tetap saja, hanya mereka yang bersepatu lars yang datang. Satu adik perempuannya memilih kawin dengan kepala gerombolan yang dulu acapkali porak-porandakan rumah. Hal itu sedikit membawa perubahan, tak ada lagi tamu yang merusak malam. Sisanya tak berubah, teman atau kerabat sama saja, membuang muka saat berpapasan. Penghuni rumah itu dianggap petaka. Orang-orang tahu, seribu mata- mata memasang mata dan telinga untuk menangkap siapa pun yang dianggap mengenal mereka.
Nyanyian jangkrik mengurai sepi. Sepi pun porak bagai kaca pecah ketika anak perempuannya berteriak dari beranda belakang.
“Bapak pulang! Bapak pulang!”
“Suruh anakmu diam!” perintah ibunya panik.
Perempuan itu setengah berlari menghampiri anaknya yang sedang bermain.
“Buu, Bapak pulang!”
“Sst, Maya jangan begitu, diam sayang, nanti dikira orang betul Bapakmu pulang….”
Sosok tipis menghampiri perempuan itu. Tak percaya ia tatap tubuh di balik caping petani yang tutupi tirus pasi.
“Ini aku.”
Perempuan itu lepaskan bekapan di mulut anaknya. Ia peluk lelaki di hadapannya. Dua bulir basahi dada kerontang lelaki itu.
“Bapak bagaimana?”
“Bapak masih di sana. Mereka melepaskanku karena disentri yang semakin parah. Aku disuruh pergi, sebelum mati di penjara.”
Tak ada lagi kata-kata, malam pun berlalu dengan lengang yang tak berbeda. Senyum perempuan itu butakan mata, tulikan telinga para mata-mata. Berhari seperti itu, seolah tak ada yang berarti terjadi. Tak ada yang tahu, bahkan ketika mereka tinggalkan rumah itu, tinggalkan Jakarta.
“Lintang, ajak Suryo pergi dari sini, Ibu sudah siapkan semuanya. Pergilah kalian ke tempat Mang Golibi. Geura indit, geulis, bawa Maya, biar Ibu yang urus Teguh.”
Sebuah kota yang diselimuti kabut menyambut mereka. Tak ada rasa takut sedikit pun di hati perempuan itu. Sekali lagi, ia tentukan takdirnya. Ia akan bertahan bersama suami dan anak perempuannya. Mereka bertiga tak boleh mati!
Mang Golibi, saudara jauh ibunnya, mengantar mereka ke sebuah pondok pesantren. Pemiliknya, Kiai Hanafi, memberikan pengharapan. Tak ada tatap menyelidik, tuturnya sisipkan hangat.
“Ulah asa-asa, anggap saja di rumah sendiri.”
Tapi, Mang Golibi ingatkan mereka untuk tetap tajamkan rasa.
“Sama saja, di dieu oge banyak yang dibui, banyak juga yang dibuang ka pulo, yang mati juga banyak, yang hilang komo deui”.
Meski dipagari gunung, tak urung kebencian yang sama mengalir sampai ke dusun-dusun terpencil. Perempuan itu tahu, tak ada pilihan, si kecil pun harus dibiasakan dengan panggilan baru, mengingat nama baru ayah dan ibunya, dan tentu saja tak boleh bercerita tentang kakek- neneknya kepada orang lain. Perempuan itu sadar, jika ingin hidup, tak ada pilihan, mereka harus kubur semua riwayat.
Tak ada yang berubah dalam diri perempuan itu, walau hari kadang menggigit. Ia tetap berikan senyum pada suaminya yang berubah jadi pemarah, yang sering tanpa sebab, memakinya atau merusak perabotan rumah atau meleleh dalam takut yang sangat. Lelaki itu acapkali terbangun tengah malam ketika sepeda motor melintas di depan rumah. Bukan sekali lelaki itu tiba-tiba lunglai saat mendengar derap kaki orang di dekat rumah.
“Mereka datang, mereka datang. Habislah aku, habislah kita!”
Kalau sudah begitu, perempuan itu akan berikan dekapan hangat, mengusap-usap punggungnya, menenangkannya, hingga lelaki itu kembali bermimpi di bawah elusan senyumnya. Senyum yang sama yang ia berikan saat bumi menjemput hari. Senyum yang sama yang ia bagikan pada waktu yang terus berjalan. Ia pun terus merajut hari dengan kesabaran. Kesabaran yang membalut nyeri di hati suaminya, hingga lelaki itu perlahan mulai bisa pijakkan kaki di bumi.
Begitulah hari merambat. Terkadang hari berjinjit sambil sematkan kabar di pucuk atap. Ibu, dua adik, dan anak lelakinya sudah tak lagi di Jakarta. Adik-adiknya yang lain tinggal berpencar, jadi pembantu di rumah kerabat. Hanya dua adik lelaki dan satu adik perempuan yang masih tinggal di rumah yang sama. Bapak masih ditahan, entah kapan akan pulang, tak tahu kapan bisa bertemu. Surat terakhir mengatakan, Bapak dipindah ke Salemba. Sementara seorang paman menjadi penghuni pulau di timur.
Aku tak pernah bisa berhenti mengenang perempuan itu. Semua cerita tentangnya kukumpulkan remah demi remah. Aku bahkan sengaja mewawancarai orang-orang yang pernah kenal, atau sekadar tahu dirinya. Perempuan itu hidup dalam hidupku. Sebagian kisahnya hidup dalam hidupku.
Orang pasti berpikir perempuan itu karang yang bergeming saat gelombang pasang, tapi tidak bagiku. Aku tahu pasti saat senyumnya luluh ketika pedih terlalu tajam. Tak jarang ia ingin bunuh hari saat hadapi trauma suaminya. Di saat seperti itu biasanya ia kemasi barang-barangnya. Aku masih ingat bagaimana perempuan itu mengangkat koper tua berwarna coklat muda pudar. Sebungkus air mata disembunyikan di bawah senyumnya. Saat itu aku pikir ia akan tinggalkan suaminya dan akan mengajakku kembali ke rumah masa kecilnya. Tapi ternyata ia hanya ingin titipkan pedih pada sebuah makam yang tak jauh dari rumah. Perempuan itu percaya kematian bisa dengarkan kehidupan.
“Aku tak tahu makam siapa ini,” katanya menjawab pertanyaanku, “yang pasti, saat kita mencium wewangian, kita bisa mengadu pada jasad di bawah sana.”
Ia punguti kembang kemboja yang berjatuhan di sekitar makam, lalu ditaruhnya di atas makam itu, lalu lanjutkan kata-katanya.
“Aku sangat ingin bertemu ayah, ibu, dan adik-adikku. Aku juga ingin menimang anak lelakiku. Putingku masih merasa berdosa karena tinggalkan bibirnya. Kau tahu, aku ingin ada seorang yang bisa dengarkan diriku. Tapi, kepada siapa aku bisa bicara, jika tak seorang pun tahu diriku, tak seorang pun tahu namaku.”
Telaga menggenang di kedua matanya, perlahan menetes jadi gerimis yang perih. Saat itu untuk pertama kali aku mengerti arti pedih.
Mengenang perempuan itu ibarat menonton cukilan-cukilan adegan. Masih jelas tergambar saat ia menghitung untung barang-barang yang dikreditkannya pada orang-orang kampung. Masih kuingat saat ia ajari masukkan jamu godokan, racikannya sendiri, ke dalam botol-botol bekas sirup. Saat itu satu botol harganya limaratus rupiah. Aku tak akan lupa hari-hari yang dilewati perempuan itu. Hari ketika seorang tamu datang dan menangis sambil memeluknya.
“Ternyata Zus masih hidup.”
Seperti biasa perempuan itu berikan senyumnya. Senyum yang sama yang diberikannya padaku saat kutanya mengapa aku harus memanggil Kiai Hanafi kakek, padahal aku tahu dia bukan kakekku. Senyum yang sama juga diberikannya padaku saat kutanya mengapa ia tak lagi memanggilku Maya.
Senyum perempuan itu memang tak pernah berubah, sama, tetap sama. Senyum yang sama yang diberikannya padaku saat kusibak kafan dan kubisikkan kata:
“Akan kutulis di nisanmu namamu, namamu yang sesungguhnya, Lintang, biar mereka tahu siapa dirimu, siapa kita sebenarnya. Selamat jalan, Bunda!”
Depok, 021206 ~ 22:22

BAYI BERSAYAP JELITA

Cerpen Agus Noor
KAKEK bisa membelah diri. Bisa berada di banyak tempat sekaligus…
Aku melihat Kakek tengah berdiri memandang keluar jendela, ketika aku masuk. Kamar gelap – mungkin Kakek sengaja mematikan lampu – aku merasa ia tak ingin diganggu. Pelan pintu aku tutup kembali. “Masuklah,” suara Kakek lemah. Ia tergolek, dengan selang oksigen dan infus yang bagai mencencangnya ke ranjang. Demi Tuhan! Aku tadi melihat Kakek berdiri dekat jendela itu. Benarkah Kekek bisa berpindah dalam sekejap?
Kurasakan, Kakek mengedipkan mata: sini, tak usah heran begitu. Padahal kulihat ia terbaring memejamkan mata begitu tenang.
Dua hari sebelum puasa, ibu menelpon. Kakek jatuh di kamar mandi, serangan jantung. Mas Jo memintaku segera saja ke Jakarta. Sebelum terlambat –  ia rupanya tahu keenggananku menjenguk Kakek. “Biar aku urus Nina,” katanya. Bungsuku itu memang baru kena demam berdarah.
Aku tak terlalu dekat dengan Kaket. Bahkan tak menyukainya. Semasa kecil, kakak-kakak dan sepupuku suka sekali mendengarkan cerita Kakek. Duduk mengelilingi dan bergelendotan manja setiap Kakek bercerita tentang burung-burung cahaya yang terbang dari surga membawa biji-biji kebaikan, ular berkepala lima, makhluk-makhluk sebelum Nabi Adam diciptakan, angsa yang menyelam ke dasar samudera atau Nabi Sulaiman yang mendengarkan percakapan cicak dan buaya.
Itu bohong, kataku, setiap Kakek bertanya kenapa aku tak suka ceritanya. Aku lebih suka belajar matematika. Bagiku Kakek tak lebih tukang khayal. Dan khayalan itu penyakit yang gampang menular. Penyakit ortang malas, kata Nenek. Saya memang tak suka setiap melihat Kakek hanya duduk-duduk dikelilingi para kakak dan sepupuku – seperti sekumpulan orang malas yang seharian hanya bercanda – sementara Nenek di dapur sibuk membuat kue. Aku lebih suka menemani Nenek di dapur, mencicipi remah kue yang dibikinnya, dan selalu merasa begitu bangga ketika Nenek memberikan padaku potongan kue yang lebih besar.
Tapi kakak-kakak dan sepupuku bilang, Kakek punya kue yang jauh lebih lezat dari kue bikinan Nenek. Kue itu kue yang dihidangkan ratu Balqis kepada Nabi Sulaiman. Seperti apem, tetapi bagai terbuat dari cokelat. Kue itu tak akan habis bila dimakan. Aku benci mendengar cerita itu. Benar, khayalan memang penyakit menular. Kupikir mereka sudah tertular khayalan Kakek.
Aku ingat setelah kejadian itu, tengah malam, antara tidur dan jaga, entah mimpi entah nyata, aku melihat kakek duduk di sisi ranjangku, sembari makan kue pelan-pelan. “Mau?” ia menawariku. Seolah ada gerak yang mendorong tanganku untuk mengambil kue itu, memakannya. Rasa kue itu jauh lebih enak dari kue buatan Nenek.
***
KAKEK pingin ketemu kamu, kata Ibu di telepon. Yakin, pasti Kak Sofyan yang menyuruh. Sejak setahun tahun lalu, Kakek tinggal bersama kakak keduaku itu, dan ia tahu: aku pasti mau mendengarkan bila yang menelpon Ibu.
“Kenapa kamu tak suka Kakek?” dulu, ibu bertanya. Aku terus pura-pura membaca.
Suaranya lembut, membuatmu merasa tentram setiap mendengarkannya bercerita. Matanya keteduhan yang ingin kau jumpai. Nyaris tak pernah marah. Dan – ini yang menurut kakak-kakak dan sepupuku paling sukai dari Kakek – tak suka cerewet memberi nasehat. Rasanya tak ada alasan untuk tidak menyukainya.
Mungkin karna iri. Atau tak mau berbagi. Kakek membagi perhatian pada semua cucunya. Aku selalu ingat pada kejadian saat suatu kali Kakek membawa martabak. Kakek membagi rata buat semua cucuknya. Semua gembira.
Tapi aku segera pergi. Aku ingin Kakek seperti Nenek! Bila punya kue: aku selalu dapat bagian lebih banyak. Aku senang bila kakak dan sepupu menatap iri bagian kue yang lebih besar milikku. Itulah saat-saat paling membahagian buatku. Nenek mengerti kebahagiaanku itu. Kakek tidak.
Itulah sebabnya aku tak pernah terlalu suka Kakek. Tak pernah bisa merasa dekat.
Tapi Kakek ingin sekali ketemu kamu, kata Ibu saat menelpon. Dan Ibu bilang: dua hari di rumah sakit, Kakek bersikeras pulang. Rumah sakit hanya membuat kita benar-benar merasa sakit, keluh kakek. Para suster mengatakan kalau Kakek pasien paling tak bisa diatur. Tak mau minum obat, dan tak mau disuruh diam. Dia suka sekali mendongeng dan cerita, kata seorang suster. Pernah, malam-malam, kakek memanggil suter jaga, hanya karena ia mau bercerita kalau baru saja ada lima laki-laki menjenguknya. “Mereka tinggi besar dan bersayap. Mereka memijiti jempol saya, dan bilang saya tak apa-apa. Suster lihat, kan… tadi mereka masuk ke sini? Lima laki-laki tinggi besar bersayap…” kata Kakek. Suster hanya diam. Karna Suster itu memang tak melihat siapa-siapa memasuki kamar ICU. “Mereka memberi saya ini,” Kakek memperlihatkan sebutir kurma. Kurma nabi, kaka Kakek.
***
SAYAteringat beberapa tahun lalu.
Mba Rin, istri Mas Moko, kakak sulungku, mengalami masalah persalinan. Bayinya melintang, kata dokter, dan harus operasi. Lalu Kakek muncul, memberinya sebutir kurma. Mba Rin yang sudah terlihat lelah dan pasrah, perlahan tak lagi merasa kesakitan. Kemudian melahirkan dengan lancar.
Pernah pula Tante Ida, yang tinggal di Jombang, menelpon malam-malam: Kakek barusan datang menjenguk anaknya yang panas. Kakek mengusap keningnya, kemudian pergi. Dua jam setelahnya panas Ibra berangsur lenyap. Sumpah, sepanjang malam itu, aku melihat kakek hanya duduk tiduran di kursi goyangnya.
Kakek bisa berada di dua tempat sekaligus, kata Einda. Ia bisa muncul begitu saja saat kita membutuhkan. Lalu sepupuku itu bercerita, betapa pernah suatu kali ia sakit dua hari sebelum ujian kelulusan SMA. Kakek tiba-tiba muncul di kamar kostnya, memberinya segelas air putih, dan ia tertidur. Saya bermimpi berada di tempat yang begitu tenang dan nyaman. Besok paginya saya sudah bugar! Semasa kanak, kakak-kakakku juga sering bercerita kalau Kakek kerap muncul malam-malam ke kamar, memberi mereka es krim atau cokelat. Es krim dan cokelat itu, tiba-tiba saja sudah ada di tangan Kakek.
“Sulap! Itu sulap,” kataku.
“Itu mukjizat,” kata mereka, “Kakek berbakat jadi nabi.”
Kakek terkekeh ketika mendengar itu. “Jangan pernah punya cita-cita jadi nabi,” katanya. “Tidak enak jadi nabi. Karna tidak semua orang menyukai.”
***
KALAU punya mukjizat, pastilah Kakek tak tergolek seperti ini – seolah suara dari masa kecilku muncul kembali. Tubuh Kakek terlihat begah dan membengkak. Seperti ada tumpukan jerami yang dimasukkan ke dalam perut dan dadanya. Seolah seluruh makanan yang selama ini disantapnya dijejalkan semuanya ke tubuh Kakek. Tongseng, sate klatak, empal, paru, kikil dan sop buntut, kepala kambing bacem, gulai dan tengkleng…
Bahkan seorang nabi pun pernah sakit – aku seperti mendengar suara berbisik di belakangku. Aku bisa merasakan nafas lembut merambati tengkukku. Aku yakin ada seseorang berdiri di belakangku. Kakek?
Tidak. Kulihat Kakek terbaring di ranjang. Akankah ia sebentar lagi mati? Bila iya, bahkan menjelang kematiannya pun wajahnya tak berubah: terlihat bersih. Sepanjang yang saya ingat, wajah Kakek memang nyaris tak pernah berubah. Seperti tak tersentuh usia. Sampai saat ini wajahnya masih wajah yang aku kenal saat aku kanak-kanak: sekilas terasa jenaka karena suka tertawa, rambutnya putih, juga alisnya. Ia tak memelihara jenggot dan kumis. Klimis. Matanya bening bulat, mata yang selalu gembira. Wajah agak bundar. Dengan tahi lalat mirip butir beras ketan hitam di dahi kiri. Ketika Nenek mulai sakit-sakitan, Kakek seperti tak berubah. Ada yang bilang karena Kakek punya kesaktian. Tetapi seingatku tak ada yang aneh dari keseharian Kakek. Ia tak suka kungkum atau nyepi untuk semedi. Tak kulihat ia melakukan ritual-ritual mistis tertentu. Pati geni atau sejenisnya. Tak pernah kulihat ia sibuk dengan jimat atau barang-barang pusaka keramat. Bahkan, di banding Nenek, Kakek termasuk tak rajin ibadah. Saat waktu shalat, malah sering kulihat Kakek tetep duduk-duduk klempas-klempus menikmati rokoknya. “Ibadah Kakek ya berbuat baik… itu saja,” pernah kudengar ia bicara begitu saat ditanya para sepupuku.
Kupandangi wajah Kakek. Seperti ingin belajar mengenalnya kembali.
“Kau tahu…,” kudengar ia bergumam, matanya masih memejam. Aku kaget, menyangka ia tidur. “Kau tahu, kenapa kita membutuhkan orang lain? Karna dokter pun tak bisa mengobati dirinya sendiri. Kita selalu membutuhkan orang lain, itulah kenapa kita mesti baik pada orang lain.”
Jari-jari gemetar Kakek menyentuh lenganku.
“Terimakasih mau datang.”
Ada yang jauh lebih dalam dari kepedihan.
“Aku selalu melihat ada yang berkelebat, di luar sana. Menunggu di sebalik jendela. Dan tadi…Tadi kulihat ia berdiri di belakangmu…”
Kugenggam tangan Kakek.
“Lihatlah…”  Pandangannya mengarah jendela, dan entahlah, seperti ada tangan gaib yang perlahan memaksaku menoleh. Kesiur angin menerobos, korden bergoyang dan sekelebat bayangan merambat gelap. Tak kulihat apa-apa. Selain tugur pepohonan dan bentangan kesunyian. Cahaya terasa lamur.
“Maukah kau kali ini, mendengarkan ceritaku?”
Suaranya memelan. Aku membungkuk, ke arah bibirnya, takut tak mendengar kata terakhirnya.
Dengarlah, mereka mendekat…
Rasa kantuk seperti angin lembut. Suara Kakek menjauh, tinggal dengung AC memenuhi ruangan. Aku meriap merasakan ada yang perlahan masuk melalui jendela. Pastilah aku tak lagi mampu menahan kantuk dan lelah, sampai kurasakan ada tangan halus mengusap wajahku, membangunkanku.
Ia tampak letih. Berdiri di bawah pohon putih, yang menjulang hingga ke langit wana ganih. Pandanganku seketika terpesona pada bayi-bayi bersayap jelita yang bermunculan dari balik cakrawala. Bayi-bayi itu terbang mengitari Kakek yang melangkah pelan menuju batu besar. Bayi-bayi bersayap jelita memberi isyarat agar Kakek berbaring, sementara angin sejuk berhembus dari sayap-sayap lembut itu.
Aku menyaksikan bayi-bayi itu membedah dada Kakek, mengeluarkan jantungnya. Ada bejana kecil, dan bayi-bayi itu mencuci jantung Kakek. Aku memejam, merasakan tubuhku melayang. Seperti memasuki rongga sunyi. Merasakan tidur panjang abadi.
***
HARI masih gelap – atau telah kembali gelap? – ketika aku terbangun oleh suara-suara percakapan. Sayup-sayup terdengar suara orang mengaji. Seperti suara Ibu. Aku mencoba mengenali sekeliling. Kekelaman yang bagai tabir berlapis-lapis. Setiap suara seperti merembes dari tabir yang berbeda-beda. Kulihat arak-arakan orang membawa keranda, menjauh. Jeritan yang bagai jerit iblis. Bau harum melati mengapung. Kusaksikan beberapa suster yang sibuk memberesi tabung oksigen dan membawa keluar kereta dorong., kemudian lenyap begitu saja, raib ke sebalik tabir kegelapan yang hampa. Ranjang itu kosong. Pasti mereka telah membawa Kakek ke kamar mayat. Aku berlari, melesat – seakan melangkah di hamparan awan – sampai kelelahan dan lesap dalam gelap.
Aku terbangun seperti orang yang telah berabad-abad ditidurkan..
Kudapati Ibu, Mas Jo dan istrinya, Mba Rin, Mas Moko, Einda dan hampir seluruh kerabatku menggerombol berbincang pelan. Pelan-pelan aku mulai mengenali, di mana aku berada: kamarku.
Ibu pelan-pelan memelukku. Aku terisak. Saat itulah, aku mendengar suara tawa Kakek.
Aku hanya bengong ketika Ibu bercerita keadaan Kakek. “Kau kira Kakek mati, ya?”
Adakah ini mukjizat….
“Dokter juga heran dengan jantung kakek. Tiba-tiba sudah bersih, ibaratnya seperti baru dicuci…”
Di ruang tengah kulihat Kakek tertawa-tawa gembira dikerubuti tujuh keponakanku yang tampak bagai segerombolan kurcaci. Lama aku terdiam memandanginya. Aku seperti mendengar kelepak sayap bayi-bayi itu terbang menjauh.

Jakarta, 2010
(Buat Mas Danarto)

Selasa, 10 Mei 2011

Ratap Gadis Suayan

cerpen: Damhuri Muhammad 
Di mana ada kematian, di sana ada Raisya, janda beranak satu yang bibir pipihnya masih menyisakan
kecantikan masa belia. Ia pasti datang meski tanpa diundang. Di dusun Suayan ini, kabar baik dihimbaukan, kabar buruk berhamburan. Maka, bilamana kabar kematian dimaklumatkan, orang-orang akan bergegas menuju rumah mendiang. Begitu pula Raisya. Tapi ia tidak bakal ikut-ikutan sibuk meramu daun serai, pandan wangi dan minyak kesturi sebelum jenazah dimandikan, tidak pula memetik bunga-bunga guna ditabur di tanah makam seperti kesibukan para pelayat perempuan. Raisya hanya akan mengisi tempat yang telah tersedia, di samping pembaringan mendiang, lalu meratap sejadi-jadinya, sekeras-kerasnya, sepilu-pilunya.
Duduk, berdiri, melonjak-lonjak, menghentak-hentakkan kaki, berputar-putar mengelilingi jenazah sambil terus menyebut-nyebut dan memuji tabiat baik mendiang semasa hidup. Ada irama di suara tangisnya, kadang seperti melantunkan sebuah nyanyian yang memiuh-miuh ulu hati. Lagu kematian itu serasi dengan entak kakinya. Ratapan, tarian, nyanyian, bersekutu jadi satu. Remuknya perasaan tuan rumah tidak mampu menandingi dalamnya kepiluan Raisya, tukang ratap yang telah mahir menanak risau itu. Mendengar ratapannya, mungkin Raisya lebih berduka ketimbang keluarga mendiang. Padahal ia bukan siapa-siapa, hanya tukang ratap yang terbiasa mendulang perih rasa kehilangan di setiap kematian yang dijenguknya.
Ada dua penyebab yang membuat orang-orang gampang mengingat dusun Suayan. Sebab pertama, perempuan paruh baya bernama Raisya, tukang ratap itu. Namanya masyhur berkat kepiawaian meratap. Kerap ia dijemput-antar oleh karib kerabat yang sedang tertimpa musibah kematian. Mereka datang dari dusun-dusun tak terduga, guna memohon kematian itu diratapi. Bagi mereka, kematian kurang khidmat tanpa ratapan Raisya. Sebab kedua, Suayan gampang dikenang karena dusun itu pabrik jodoh. Bila tuan sedang bimbang untuk menjatuhkan pilihan perihal gadis mana yang bakal tuan persunting, barangkali tak ada salahnya tuan berkunjung ke Suayan. Bisa jadi tuan bakal abai dengan pilihan-pilihan tuan sebelumnya. Sebab, di dusun Suayan, meminang perempuan dalam keadaan mata terpicing pun dijamin tidak salah pilih. Sembilan dari sepuluh laki-laki pencari jodoh yang datang ke Suayan berhasil menggondol pasangan. Kalaupun ada yang gagal, sebabnya pasti bukan pada pihak perempuan, tapi karena pihak laki-laki tidak sanggup membayar uang pinangan yang terbilang mahal. Harga pinangan termurah untuk gadis Suayan cukup untuk menebus empat bidang ladang yang tergadai. Konon, hidup orang-orang Suayan terselamatkan oleh pinangan demi pinangan. Memiliki anak perempuan di dusun Suayan seperti menyimpan celengan gemuk yang sewaktu-waktu bisa dibanting-empaskan, tentu setelah pinangan datang. Dan, celakalah setiap keluarga yang tidak punya anak perempuan. Mereka terpuruk di kerak kemelaratan.
Sejak dulu kecantikan gadis-gadis Suayan belum terkalahkan oleh perempuan-perempuan di dusun mana pun. Dusun Suayan memang bukan daerah subur penghasil Damar atau Gambir sebagaimana dusun-dusun lain. Tanahnya gersang, padi tak menjadi, hampa sebelum berbuah. Tapi Tuhan memberi anugerah dari pintu yang tak diduga-duga. Bayi-bayi perempuan selalu terlahir dengan kecantikan yang menakjubkan. Mereka tumbuh dan mendewasa menjadi gadis-gadis yang memiliki bibir pipih seperti bibir Raisya, pipi merah merona, kulit mulus seperti kulit orang Jepang, hidung mancung seperti hidung orang Arab. Postur tubuh tinggi, langsing, sintal seperti bintang film. Bila bintang film yang kerap mereka lihat di layar tivi itu tampak anggun dan molek karena olesan bedak yang berlapis tujuh, maka kecantikan gadis-gadis Suayan mukjizat yang jatuh dari langit, bawaan sejak dari rahim. Tanpa olesan bedak dan lipstik pun wajah mereka sudah memancarkan aura kecantikan yang mencengangkan. Siapa tak tergiur? Dusun Suayan seamsal hamparan ladang luas tempat bersitumbuhnya bunga-bunga anggun segala rupa, tiada pernah langkas, meski kumbang-kumbang datang silih berganti.
“Bagaimana Raisya? Sekarang atau tidak sama sekali!” desak Datuk Pucuk, penghulu suku Pilawas, suku Raisya.
Seorang lelaki datang hendak meminang Laila, anak gadis Raisya. Satu-satunya.
“Tidak! Biarkan dia melanjutkan sekolah,” sangkal Raisya. Tegas.
“Sekolah? Kau akan menguliahkan Laila dengan upah meratap? Berapa banyak kematian harus kau tunggu?”
“Terimalah pinangan itu! Hidupnya bakal selamat dengan lelaki itu. Juga hidupmu. Tak perlu kau menunggu-nunggu kabar kematian lagi.”
“Tak ada kematian pun aku tetap meratap!”
Memandang raut wajah Laila serasa menatap Raisya. Ada jernih mata Raisya di jernih matanya. Ada pipih bibir Raisya di pipih bibirnya. Ada alis Raisya di alisnya (tebal, hitam, nyaris bertaut). Tapi, bakal adakah malang nasib Raisya di malang nasibnya? Raisya tidak mau itu terjadi. Laila tak boleh kawin muda. Jangan sampai ia terbujuk godaan para pencari jodoh yang berhamburan ke dusun ini, seperti berhamburannya orang-orang selepas mendengar kabar kematian.
Raisya tidak rela Laila hanya menjadi sebatang tebu yang disesap rasa manisnya, setelah jadi ampas, dicampakkan begitu saja, seperti yang dialaminya di masa lalu. Waktu itu Raisya baru lulus tsanawiyah, Nurman meminangnya. Mentah-mentah ia menolak pinangan ganjil itu. Tapi siapa berani melawan kehendak Datuk Pucuk? Satu-satunya keluarga Raisya yang tersisa. Dengan berat hati ia mengubur segala impian. Rela ia diperistri Nurman, lelaki yang sebenarnya lebih patut menjadi ayahnya. Raisya daun muda ketiga yang takluk di tangan tauke Damar itu. Dari gunjing yang berserak di dusun Suayan, ada kabar tak sedap, dengan perjodohan itu Datuk Pucuk sesungguhnya tidak hendak menyelamatkan hidup Raisya, kemenakannya itu, tapi hendak menyelamatkan hidup anak-bininya sendiri. Belakangan Raisya tahu, adik kandung mendiang ibunya itu sedang terlilit utang, dan ia membayarnya dengan menyerahkan Raisya pada Nurman.
Hanya berselang beberapa bulan setelah kelahiran Laila, Nurman lagi-lagi memetik daun muda. Dipersuntingnya Bunaiya, sahabat karib Raisya sewaktu bersekolah dulu. Tiada alasan yang absah saat Nurman meninggalkan Raisya. Barangkali hanya karena lelaki itu sudah hilang gairah sebab tubuh Raisya tak montok lagi. Ia sibuk mengurus anak, lupa merawat tubuhnya sendiri. Kabar terakhir yang didengar Raisya, suaminya pergi karena memang begitulah perjanjiannya dengan Datuk Pucuk. Ia sanggup membayar pinangan seharga dua ekor sapi jantan, hanya untuk mencicip ranum tubuh Raisya. Utang-utang Datuk Pucuk lunas, Raisya punya anak, Nurman pergi, dan kawin lagi. Sejak itu Raisya hidup sendiri, menghidupi anak tanpa suami. Laila yatim meski ayahnya belum mati.
Semasa bersekolah dulu, Raisya bintang kasidah. Napasnya panjang, suaranya tinggi, nyaring. Bila tampil di panggung, lengking suaranya membuat para penonton melonjak-lonjak girang, lebih-lebih kalau ia menyanyikan ya rabbi barik. Tartilnya benar-benar seperti tartil orang Arab, cengkok suaranya membuat penonton terenyak dan berdecak kagum. Tapi sejak menjadi istri orang, nama Raisya seolah menguap, tak pernah lagi ia tampil di atas panggung, kalah bersaing dengan biduan-biduan muda yang suara dan penampilan mereka lebih cemerlang. Raisya kehilangan banyak hal, empat bidang ladang peninggalan orangtuanya dikuasai Datuk Pucuk, kehilangan suami, dan tentu saja; kehilangan ranum tubuhnya.
Mak Sima, sesepuh suku Pilawas merasa terpanggil untuk meringankan beban Raisya. Ia mewariskan kepandaian meratap pada janda muda itu. Setidaknya ia bisa membesarkan Laila dari upah meratap.
“Kau sudah punya syarat-rukunnya, Raisya. Akan lekas mahir,” bujuk Mak Sima waktu itu.
“Aku sudah tua. Kau penggantiku! Jadilah tukang ratap yang bisa menyelami lubuk kepiluan lebih dalam dari selaman keluarga mendiang.”
“Bukankah kau sudah terlatih menanak risau?”
Setelah berhari-hari terkapar di tempat tidur akhirnya lelaki itu meninggal juga. Tak ada yang tahu penyakit apa yang dideritanya. Belakangan ini ia kerap batuk-batuk kering. Tiga dari lima kali batuknya disertai muntah. Sebesar jeruk purut gumpalan darah keluar dari mulutnya. Susah ia tidur karena batuk-batuk keras itu tak kunjung reda, hingga tubuhnya terkulai tak bertenaga, kencing dan berak dipacakkannya saja di kasur. Bunaiya, istrinya, sudah berkali-kali membujuk agar ia mau dibawa ke rumah sakit, tapi ia menolak. Ini penyakit tua, tak akan lama, rintihnya.
Kini jenazahnya sudah dimandikan, sudah pula diyasinkan, dishalatkan, tinggal menunggu waktu sebelum diusung ke pekuburan. Tapi sebagaimana kebiasaan orang-orang dusun Suayan, kurang sempurna upacara kematian jika belum diratapi. Maka, jenazahnya masih dibaringkan di ruang tengah rumah itu, menunggu kedatangan Raisya, si tukang ratap.
“Bagaimana mungkin Raisya meratapi orang yang telah membuat ia meratap seumur-umur?” tanya Bunaiya.
“Tak usah cemaskan soal itu. Bila kematian ini tak diratapi, apa kata orang nanti?” bujuk Wan Uncu, kakak laki-laki Bunaiya.
“Raisya harus dijemput! Ia satu-satunya tukang ratap di dusun ini. “
Sejatinya Raisya tidak pernah berdoa memohon kematian meski hidupnya sangat bergantung pada kematian. Untunglah hari ini datang juga kabar buruk itu. Ia akan meratap sebagaimana lazimnya, beroleh upah, lalu pulang. Meski yang akan diratapinya mendiang Nurman, bekas suaminya, lelaki yang telah menghancurkan hidupnya. Ada tak ada kematian, Raisya tetap meratap. Itu karena ulah Nurman!
Di samping pembaringan mendiang, Raisya meratap sekeras-kerasnya, sepilu-pilunya, sejadi-jadinya. Tak ada yang tahu apakah Raisya benar-benar menyelam di kerak kepiluan, atau dalam ratap itu ia justru menyimpan amarah yang tak terkata.
Jakarta, 2008

Minggu, 08 Mei 2011

Perempuan Kafiyah

saya menyukai tulisan-tulisan Seno Gumira Ajidarma, maka dari itu saya banyak menaru tulisan-tulisannya disisni. semoga bermanfaat..... yuks, ke Itali bareng saya

Seorang Wanita dengan Parfum Obsession

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                               

                                                                                                                 
“CERITAKANLAH padaku tentang seorang wanita,” Katanya padaku
Maka, kuceritakan padanya tentang seorang wanita dengan parfum Obsession.
Sahibul Hikayat, Calvin Klein jatuh cinta sampai termehek-mehek kepada seorang wanita yang kelak akan menjadi istrinya. Untuk menuntaskan perasaanya, diciptakanlah olehnya parfum bernama Obsession. Maksudnya, barangkali, kalau ia tak bisa mengawini wanita itu, lebih baik mati. Wanita itu menjadi obsesi baginya.
Dengan latar belakang pengetahuan itu, seorang wanita selalu berparfum obsession jika sedang jatuh cinta. Ia sengaja mengoleskan obsession, yang aromanya menyergap dan menyerang, karena ia berpendapat seperti ini.
“Kalau aku jatuh cinta pada seorang lelaki, siapapun dia, aku akan berusaha mendapatkanya, dengan segala cara. Aku buka seorang wanita yang menunggu siapapun yang melamarku. Aku tidak merasa bersalah untuk menyerbu lelaki yang kucintai, apapun kata orang. Aku akan menyatakan dengan segala cara, bahwa aku mencintai dan menghendakinya – kalau tidak suka caraku, bilang saja, aku akan menjauh. Sampai ada lelaki lain yang menarik hatiku.”
Mengahadapi wanita seperti itu, wel, well, well, bisa senang, bisa juga merepotkan. Senang karena ia seperti selalu ada setiap kali kita butuhkan. Repot, karena ia masih ada meskipun sudah tidak kita butuhkan. Padahal kita biasanya tidak tega mengatakan, “Aku tidak butuh kamu lagi.” Kita biasanya tidak berkata apa-apa, tapi menunjukkannya. Berharap sang wanita bisa mengerti sendiri. Namun, meski mengerti, seorang wanita tak selalu mau memahami. Dalam hal wanita berparfum obsession ini, ia bukan hanya bisa pura-pura tidak mengerti. Ia menolak untuk ditolak, kemudian ia menyerang. Busyet.
Wanita, perempuan, betina – ketiga istilah ini sebenarnya menyatu dalam satu makhluk: ia bisa mengasihi seperti seorang ibu, mesra bagaikan kekasih impian, dan begitu jalang ibarat pelacur yang paling menantang.
Aku bertemu dengan wanita berparfum obsession ini lewat telepon. Rupa-rupanya teleponnya nyasar.
“Jadi ini bukan nomor heweshewesheweshewes?
“Bukan, ini nomor hawushawushawushawus.
Suaranya. Suaranya itu. Wel, well, well. Suara yang sangat erotik.
Akulah yang lantas bernafsu.
“Ini Siapa?”
Ia sebutkah sebuah nama.
“Sebenarnay mau mencari siapa ?”
Ia sebutkan sebuah nama lagi.
“Kenapa tidak mencari saya saja?”
Ia bertanya. Kinai ia bertanya.
“Kamu siapa?”
Aku sebutkan sebuah nama.
“Ini kantor apa?”
Aku sebutkan sebuah nama lain.
“Kukira kita bisa ngobrol,” katanya pula.

Lantas ketika aku datang ke kafe yang baru dua hari dibuka itu, kulihat seorang wanita berambut medusa, dewi Yunani yang rambutnya terdiri dari sejumlah ular. Kira-kira begitulah. Roknya mini. Sepatunya seperti sepatu tentara. Kulitnya putih. Tinggi. Mengenakan kaos ketat, sehingga dadanya yang tipis tetap saja menonjol.
Ia tidak cantik, tapi juga tidak jelek. Kecantikan – bukankah ini sesuatu yang sulit? Toh aku harus mengakui, ketika ia mulai bicara, suaranya adalah bagian dari keindahan. Bukan. Suaranya bukan seuara yang merdu. Suaranya serak. Seperti ada sekat di kerongkonganya. Tapi, aneh, aku mersakan sebagai sesuatu yang indah. Percayalah, ini bukan karena aku menyukai Louis Amstrong.
Sambil mengobrol, ia suka melempar makanan ke atas kepalanya, dan ular-ular yang bergeliatan di kepalanya itu melahapnya. Mula-mula aku ngeri. Rasanya seperti mimpi buruk. Namun ini nyata. Kuhirup bau parfumnya.
“Apa parfummu?”
“Obsession.”
Aku mencatatnya baik-baik dalam ingatanku, karena aku selalu berusaha mengingat nama parfum yang keharumannya mengesankan. Baru belakangan aku menyadari seni bau ini, dan betapa kita harusa berterima kasih kepada para pencipta parfum. Dunia barangkali tidak akan menjadi lebih buruk tanpa parfum, tapi aku tidak bisa membayangkan seandainya parfum itu tidak pernah diadakan. Parfum bisa mewakili suatu citra kewanitaan, keanggunan – bahkan jika parfum itu dibuat untuk pria. Tapi sekali lagi percayalah, aku sendiri belum tega mengenakan parfum apapun.
“Bau ketiakmu enak,” ujar wanita itu, pada suatu ruang dan waktu yang lain tentu saja. Ya, tapi ularnmya itu Nek.
Sebenarnya rambut wanita ituhanya menjadi ular pada malam hari. Ketika matahri terbit, ular-ular itu raib, dan rambut wanita itu sungguh-sungguh bagus. Bila bangun tidur, rambutnya yang hitam kelam dan bergelombang sudah menggosok-ngosok hidungku. Seringkali aku bingung, mana kiranya yang lebih menraik hatiku: rambut ulanya, suaranya, atau parfumnya. Kupikir tiga-tiganya salah. Barangkali aku tertarik akrena wanita ini berani menyerang. Agresif dan tidak malu-malu.
“Kalu tidak suka padaku, katakanlah sekarang, aku tidak akan menghubungimu lagi.”
Tapi sebuah perpisahan tak harus dihubungkan dengan suka atau tidak suka.
Pertemuan, perpisahan, astaga, betapa semua ini menjadi bagian kehidupan. Kupikir aku selalu siap berpisah dengan siapapun wanita yang kutemui. Namun ketika saat perisahan itu tiba., rasanya ku tidak pernah siap.
“Kita harus berpisah, kita tidak punya masa depan,” begitulah kalimat itu selalu.
“Apakah suatu hubungan tidak ada artinya, meski tidak akan menjadi apa-apa?”
“Kamu sangat berarti bagiku, tapi untuk apa semua ini, untuk apa ?”
Aku sudah capek denga perdebatan semacam itu. Aku ingin babak-babak kehidupan semacam ituberlalu dengan cepat. Kenyataanya, babak-babak semacam itu selalu datang lagi, nyaris seperti adegan ulangan. Toh, begitulah, perpisahan tidak pernah menjadi mudah. Kupandang ular-ular yang bergeliatan di kepalanya. Aku akan kehilangan ular-ular itu.
“Apakah wanita seperti itu ada?” wanita itu memotong ceritaku.
“Wanita berkepala ular maksudnya?”
“Bukan.”
“Wanita yang menyerang?”
“Bukan.”
“Apa dong?”
“Wanita yang tidak mengharapkan apa-apa.”
Terdengar piano memainkan At a Perfume Counter. Aku menghirup udara. Rasanya bau parfum wanita ini belum kukenal.
“Kukira kamu lebih tahu”
“Tidak, aku tidak tahu.”
“Aku juga tidak.”
Wanita itu tersenyum.
“Kuteruskan ceritanya?”
“Ya,ya, sorry ku potong.”
Hubungan manusia seperti kontrak. Cepat atau lambat hubunga itu akan berakhir dengan perpisahan. Kami bertemu lewat telepon, dan kami juga bepisah lewat telepon.
“Aku tidak bisa lagi menemui kamu.”
“Kenapa?”
“Sudahlah, hubungan kita sudah berakhir.”
“Kenapa harus begitu?  Kenapa harus berakhir ?”
“Tidak apa-apa, aku hanya tidak bisa lagi.”
“Jelaskan dong – aku kan tidak mengharapkan apa-apa dari kamu. Aku tidak pernah minta kamu mengawini aku.”
“Aku tidak mau bertengkar.”
“Aku tidak mau berpisah.”
“Aku ingin berpisah.”
“Aaaahhhh!”
Astaga, sulit sekali menghadapi wanita yang menangis. Padahal dulu dia begitu sombong.
“Aku senang dengan hidupkum,” katanya “Aku senang denga piliha-pilahn yang kulakukan, dan menerima kegagalan dengan sportif. Aku punya banyak pacar, mereka semua memberikan kebahagiaan yang berbeda-beda.”
Untunglah. Untunglah aku tidak pernah mencintainya – dan tidak mungkin: karena hatiku sudah kuberikan untuk seorang wanita berparfum True Love.
Aku tidak pernah bertemu dia lagi semenjak percakapan yang mengakhiri segala hubungan itu. Aku sering merasa aneh dengan kenyataan, betapa kita bisa begitu dekat dengan seseorang, namun bila tiba saatnya berpisah, kita bisa saja tidak pernah berjumpa lagi dengan orang itu, barangkali sampai mati.
“Aku sudah bercerita tentang seorang wanita,” kataku, “Kini ceritakanlah padaku tentang dirimu.”
“Boleh, tapi aku mau minta tambah minuman, dan mau minta lagu. Kamu amu lagu apa?”
Wanita itu memsan Tequila. Kulihat penyanyi wanita itu, ia menyanyi sampil main piano di sudut yang remang. Aku merasa ingat sesuatu, tapi lupa-lupa ingat. Apakah sejarah memang ahrus tergantung pada kenangan?
“Ayo lagu apa? Biar kutulis.”
Misty.
*) Dari Novel “Jazz, Parfum & Insiden”, Yayasan Bentang Budaya, 199