Senin, 18 Oktober 2010

Lakmosa

Untuk :Senandung
Singgahlah sesekali di Lakmosa
Barangkali ada balada yang gemerincing

Di jalan jalan Lakmosa ini
Bulan pecah melelehkan rindu
Angin menghembuskan gigil

Ada gapura tapak penyair
Terukir melingkar rapat
Abu abu yang tak siang
Juga danau bening sejuk

Sudilah kiranya meneguk senyumku di Lakmosa
Semanis sirup menyambut
: Namamu beku di Lakmosa

Pendopo Sastra 2010

Jumat, 08 Oktober 2010

keluarga


aku mencintai kalian

Kamis, 07 Oktober 2010

Lukisan Perempuan

Cerpen: Kafiyatun

“Aku memang tak menampakkan dihalayak banyak orang, tapi aku tahu kau diantara mereka”. Ucapmu padaku disenja kemaren. Entah kenapa aku tak bisa mengerti posisimu. Kau sebagai seorang pelukis yang terkenal, tak pantang memenyerah ketika malas menyambar semagatmu. Mungkin itu karena kau hidup dari hasil corat-coret tanganmu. Tapi aku yang berstatus kekasihmu sejak dua tahun yang lalu, tak penah kau kenalkan dengan teman-temanmu. Kau hanya mengenalkanku pada lukisan-lukisanmu. Kau paling banyak melukis perempuan daripada benda atau makhluk lainnya. Saat ditanya, kau hanya menjawab dengan senyuman serta sentuhan lembut ditanganku untuk sekedar menenangkanku.
“Ah, kau sangat pandai merayuku! Jangan-jangan kau menyimpan perempuan lain, lalu kau alihkan dengan melukis wajah-wajah mereka dikanvasmu” sergahku
“Tidak, tidak akan. Aku bukan penghianat. Kau satu-satunya kekasihku. Perempuan dilukisanku tak pernah berarti bagiku, mereka hanya barang kesayanganku saja”
Kau ini seperti hidup dizaman kerajaan saja, kau simpan selirmu dengan rapat dan aneh. Kau simpan mereka pada kanvas-kanvas kebanggaanmu, yang kelak jika kau beruntung, lukisan-lukisan itulah yang akan mengisi perut kosongmu”.
“Berarti aku berhutang budi pada perempuan dilukisanku, begitu maksudmu?!” kau memandangku sinis dan ragu, lalu kau menatap langit luas, memejamkan mata seraya mengucap kata-kata yang tak jelas ditelingaku.
“Kau berdo’a saja, agar tak pernah ada selir-selir seperti yang kau katakan. Jika itu terjadi bukan berarti aku penghianat, melainkan ada kesalah kesalahan yang tak pernah kita sadari.”
Sedetik kau menatapku, lalu membuang wajahmu kelangit luas lagi. Seakan mengharap sesuatu jatuh darisana. Entah itu berupa kebahagiaan atau duka. Kau meninggalkanku tetap sendiri duduk dibatu besar. Batu yang aku duduki memang sangat besar dan kokoh selama tidak ada benda yang lebih kuat menimpanya. Tapi aku perempuan, bukan batu kuat dari langit seperti yang selalu kau harapkan.
“Kisah cintaku tak boleh kandas disini. Aku susah payah mengumpulkan gugusan-gugusan kecil cintaku untuk kita jadikan titian-titian hidup. Perjuanganku baru dimulai”.
* * *
Diakhir pekan, kau mengajakku untuk menemanimu dalam acara pameran lukisanmu. Hampir satu bulan satu kali kita bersama diacara yang dihadiri para penyuka seni dan budayawan. Tak jarang, lukisanmu dibeli dengan harga yang cukup mahal. Aku mengamati tiap lukisanmu. Selalu begini, sama seperti yang dulu-dulu. Lukisan perempuan melulu. Perempuan jawa yang berkerudung. Entahlah, kenapa aku tidak juga mengeri filosofi lukisan kekasihku. Padahal hanya wajah perempuan.
“Mas Pras” panggilku ketika acara pameran usai
“Kenapa Din?”
“Kita langsung pulang atau jalan lagi?”
“Kita ketempat biasa saja”.Aku menurut saja apa yang kau katakan, selama aku masih bisa bersamamu.
“Kau yakin kisah kita tidak akan buruk?” tanyaku padamu saat duduk di batu besar.
“Bukan lantaran karena aku tak perduli padamu, maka kisah buruk terlahir untuk kita, aku tak membawa kisah buruk untuk hubungan kita. Aku tidak akan membawakan kisah-kisah sendu. Aku tak ingin membuatmu terus-terusan gamang. Aku tak ingin menambah bebanmu”.
“Aku tak habis pikir, kenapa aku sapai mencintaimu”.
“Itu adalah keajaiban”. Jawabmu pendek.
Tak jelas, kenapa kau sembunyikan aku seperti selir-selirmu,dalam kejauhan imajinasi dan kelakar nalurimu. Kekasihku yang sangat aku puja dan kunanti, yang aku harap dapat menghancurkan segala kegelisahan. Dan setelah lama aku mencoba menerima kehadiranmu, pada sejumput yang tak pernah lepas dihatiku, aku menjadi sangat mencintaimu.
Perempuan yang berharga bagimu, adalah prempuan yang bisa menampakkan wujudnya pada kanvas-kanvasmumu. Apa bagusnya bagiku, jika lukisan kekasihku saja aku tak mengerti. Apa itu berarti aku tak benar-benar mencintaimu?! Alangkah tragisnya, jika putik bunga berserakan dikakimu sebelum waktunya. Ambillah segala putik bunga-bungaku, dan kau akan tahu betapa kejamnya pelukis wajahku yang tak menyamakan aku dengan bunga-bunga yang lain.
Bercinta denganmu membuat aku lupa. Teman-temanku yang begitu bersikukuh bahwa kau bukan lelaki sejati, yang tak pernah bisa mengakui aku sebagai kekasihmu. Namun, itu tak membuat aku mati suri.
“Din..” kau memulai percakapan dipertemuan kali ini
“Iya mas?”
“Semalam aku bermimpi”
“Ah, itukan sudah biasa”
“Tidak, ini mimpi yang tak seperti biasanya”
“Apa sich?!”
“Dengar, dengarkan aku baik-baik”. Kau diam sebentar mengambil nafas.”aku bermimpi kau menjadi patung dilukisanku. Lalu menjelma bunga kering. Tapi aku sangat menyukainya. Meski bunga itu kering, gairahnya tak mengurangi niatku untuk terus memoleskan warna-warna kehidupan. Biasanya kau hadir bukan sebagai obyek lukisanku, paling tidak kau hanya menemani aku jalan-jalan dipulau khayalanku”.
“Apa maksudmu?”
“Aku senang ketika Tuhan memberiku mimpi tentang keberadaan dan tubuhmu. Jarang sekali itu terjadi”.
“Kau hawatir aku menjadi patung yang tak punya warna-warna cerah kehidupan bila kita bersama?!”.
“Tidak”
“Itu omong kosong sayang…”
“semoga saja memang omong kosong!”
Untuk sekian kali lagi kau menampakkan wajah hawatirmu. . Dengan sebatag rokok kau hembuskan segala ragu lewat asap yang membumbung, menjauh, dan mengabadi dilangit. Satu keraguan terlewatkan dibatinmu. Menyamai angin yang kerap menampar daun-daun kering. Yang membawa debu dan daun kering terpisah dari kerabatnya. Jka ia seorang manusia, mungkin dihari tenang ia kembali mencari kerabatnya. Aku tak mau seperti daun kering yang berjarak dengan kerabatnya, begitupun dengan kekasihku.
“Jangan terus-terusan ragu, itu akan mempengaruhi pikiranmu”.
“Aku tidak ragu,. Aku sedang berpikir bila kau jauh dariku apa yang akan terjadi padamu. Karna aku lelaki, aku tak risau”.
Aku tak mengerti dengan perasaan kekasihku. Haruskah aku redam seja gejolak yang menyembul ketika bertemu denganmu didepan banyak orang?!. Padahal pertemuan ini yang aku tunggu. Dengan merenung dan melamun tak membuahkan hasil. Serupa apapun kisah kita, aku peduli. Aku kerap menatap lekat-lekat matamu sambil menerawang, kira-kira adakah sebongkah kesetiaan yang terjerat, atau malah telah terlepas dari jeratan ikut halimbubu. Andai halimbubu itu mengerti keinginanku, tafsiranku akan membaik.
Aku menangkap gerut berbeda pada jalan pikiranmu. Lama kelamaan aku merasa bosan. Ada keinginan untuk tak peduli padamu, berharap kisah kita berakhir saja disini. Dari saking capeknya aku bertekad saja. Meninggalkanmu.

Aku ingin kita bertemu
ditempat biasa

SMSku masuk diponselmu sepuluh hari setelah pertemuan terakhir kita. Besoknya pada waktu yang telah kita sepakati kau tengah duduk di batu besar itu. Kau menggeser dudukmu untukku. Lalu kau membuka tasmu, mengeluarkan secarik kertas buram.

Kertas ini bukan kertas pink
Ini kertas buram. Tapi cinta
Bukanlah hal yang nampak.
Banyak hal yang tidak nampak
Yang bisa kita rasakan.
Adinda, dikeningmu bibirku
Ingin diam dan berpulang

Prasetyo
Sepulang pameran

“Senjata penyair adalah kata-katanya yang tulus”. Ucapku ketika ketika aku sudah membaca tulisanmu. Lalu duduk disampingmu. Persis seperti kemaren-kemarennya.
“Aku sependapat denganmu. Karena itu ketulusan. Aku terserah kamu saja. Kau mau terus seperti ini denganku atau malah meninggalkanku. Jika kau meninggalkanku aku putuskan, aku akan berhenti saja melukis wajahmu”.
“Apa?”
“Ya, selama ini aku melukis wajahmu yang telah tercemari disetiap lenguhan inspirasiku. Dengan wajah yang berbeda dengan bunga-bunga yang lainnya. Kau adalah bungaku meski tanpa atau dengan putik. Bagiku kau sama saja. Kau lebih berharga dari semua hasil lukisanku”.
Dengan rasa bahagia yang begitu saja membuncah pada hatiku seketika. Disiang ini, ditempat bebas penuh dengan beribu keinginan untuk hidup damai, aku menemukan seberkas keyakinan bahwa kau adalah lelaki yang belum sepenuhnya aku pahami, namun begitu sangat menghawatirkan aku.
“Adinda… aku begitu mencintaimu..”
* * *

Menyatakan perasaan kia dengan bahasa tubuh, yang diwakili oleh tangan atas jari-jari kita adalah ungkapan puncak keindahan. Ternyata coretan kekasihku adalah kumpulan perasaan cintanya.
Bagiku kau mas, adalah menyatukan rantai kisah cinta yang sungguh indah. Dengan segala yang telah kita lewatkan aku tak pantas meningglkanmu begitu saja. Mengenalmu, menjadikan aku sebagai putri bunga cantik dalam setiap lukisanmu. Kau sangat mahir melukis wajah, begitupun melukis kisah kita.

“Mas..,aku punya harapan besar padamu, menjadi yang berharga dan terindah dalam hidupmu. Disetiap dentingan do’a-do’aku, namamu dan segala harapan kita selalu kuucap.Semoga...”

Majalah ALFIKR
2010

Aku Masih Perempuanmu



Cerpen: Kafiyatun Hasya

Aku dulu telah menjadi perempuanmu. Dalam kalut dan bahagiamu. Aku dulu yang selalu kau hawatirkan. Namun kenangan telah membawaku jauh kedalam nasibmu sangat dalam. Pada hidupku pernah kau sematkan selendang rindu penuh warna dengan bunga yang cantik. Lewat gemericik air yang berlalu menyudahi kenangan kita, kini tengah menumbuhkan pucuk-pucuk kehidupanku tanpamu.
Masih ku ingat malam minggu itu dirumahku. Dilatari gerimis hujan pada malam yang syahdu. Kau bernyanyi dengan gitar yang kau bawa dari rumahmu. Suasana penuh tawa dan cubitan gemas.
“Satu lagu buatmu malam ini”
“Ok. Aku ingin mendengarnya” Aku berkata sambil bergelanyut manja dipundakmu
Malam menyapa kami dengan kemesraan. Mungkin kuncup bunga akan bermula sejak malam ini. Semoga do’aku yang menjuntai menghampiri hatimu.
Setelah mencintaimu, kau menjadi segala apa yang ingin kutulis dalam sejarahku. Setelah menjumpaimu aku ingin lebih dari itu. Dan setelah kau menjadi kekasihkupun aku terus ingin lebih sekedar kekasih. Sudah kupahat dalam hatiku sangat dalam. Jika kelak Tuhan menyatukan kita, aku tak kan biarkan kau bergegas pergi.
Telah kutimbun banyak harapan setelah mencintaimu. Aku jadi kelu dengan kabut kata-katamu yang lahir dari bibirmu yang panas. “Aku mencintaimu dik” Suaramu meredupkan kunang-kunang dimatamu
Tiba-tiba aku dan kau sama-sama menyukai senja. Beginilah memang orang yang sedang jatuh cinta. Merasakan segala suara adalah lagu percintaan. Segala warna adalah merah muda. Dan segala yang tergambar pada mata hanyalah wajah sang kekasih.
Aku bahagia dengan kekonyolan dan guyonanmu. Tiap kali kita bertemu aku selalu ingin mengabadikannya. Aku ingin perekam video didepan kita. Dan jika kau tak disampingku, aku tetap bisa melihatmu tertawa atau marah. Kemudian pada sebuah kamar kau memberiku sebuah perahu jiwamu. Bersama-sama kita berlayar kedalam sebuah lenguhan panjang. Yang membuat mata perlahan tertutup dan terbuka mengikuti ritme nafas kita.
“’Mas mencintaimu dik” samar kudengar bisikmu disubuh. Kau membangunkanku dengan menempelkan pipimu di pipiku yang basah oleh air mata.
“Bangun sayang” Kau memelukku erat. Membelai rambutku. Mengusap tangisku dengan jarimu.”Mas tetap akan disampingmu”. Barisan kata-katamu mengendap di kepalaku. Menyusuri helai rambutku yang lurus menyamai jalan kesurga disana.
“Lihatlah duicermin itu, dik. Ah, kau perempuanku yang sangat cantik” Aku merona dengan kata-katamu yang menyerbuku. Kau menarikku kedalam pelukanmu. Merapikan rambutku yang sudah rapi. Lalu mangakhiri ciuman dibibirku. “Lihat itu” jari telunjukmu mengangkat daguku. Menuntun mataku pada cermin tempat kita tersenyum. Aku merasa kupu-kupu sedang terbang dihati kita. Seperti sedang mengitari bunga-bunga.
“Kita mengabadikan dalam cermin saja. Cermin tiap kamar yang kita singgahi pasti besar. Aku bisa jelas melihat wajahmu yang malu-malu saat kutatap”
“Aku ingin kita begini terus. Menjadi tuan dan nyonya. Saudagar kebahagiaan yang takkan habis meski ratusan keturunan Mas”
Pada siang yang mendung. Aku tidur didadamu yang tak terlalu bidang. Pada sebuah kamar yang berbeda. Sepanjang siang sampai sore kita mengobrol. Dan kau selalu membacakan puisi untukku. Seperti disore itu kau membacakan puisi sungai kecil karya D.Zawaai Imron. Aku menghafal bait puisi itu setelah pertemuan kita hingga sekarang.
Atau diwaktu sore itu kita jalan-jalan mengendarai motor. Belanja bersama. Aku pernah pilihkan satu baju untukmu, tapi kurang cocok menurutmu.
“aku ingi baju ini saja. Warna dasar putih yang lukisannya tidak terlalu norak. Pantaskan buat mas? Bagaimana sayang?”
“Boleh deh Mas”
Sepulang jalan-jalan kita masih menyusuri beberapa tempat.
“Peluk Mas yang erat, dik. Dingin ”suaramu riuh dibawa angin.
“Iya Mas. Tapi bawa motornya pelan-pelan. Disini baru habis diguyur hujan. Jalannya masih licin”
“Makanya Mas dipeluk dulu” kau sedikit berteriak sambil memperbaiki letak helemmu
Diwaktu dan tempat yang telah kita sepakati kita bertemu lagi. Makan mi kuah kesukaanmu. Dikamar yang berbeda lagi, hanya ada kau dan aku. Selesai makan kau menghidupkan televisi. Beberapa kali kau pindah chenel, lalu kau memutuskan memilih acara musik.
“Wah ini dia penerus Dhani. Aku ingin anak-anak seperti mereka. Kelak kau bisa memberikan anak seperti tiga jagoan ini dik”
“Ya bisa aja Mas. Tapi masak anak kita jadi anak Band semua?”
“Kenapa tidak syanag…”
Dan inilah percakapan terakhir kita disebuah kamar yang kita singghi setahun yang lalu.
# # #

Aku selalu ingin tetap menjadi perempuanmu satu-satunya dalam hidupmu. Menjadi perempuan tunggalmu. Tanpa selir dan lainnya.
Banyak kemungkinan yang telah aku siapkan setelah mencintaimu. Mungkin ini badai bagi hubungan kita saat ini. Munghkin juga setelah bersabar beberapa waktu kau baru akan menyadari semua harapanku. Aku telah menjadi perempuanmu dalam sejarah hidupmu. Tahukah kau, kehilangan apapun yang aku miliki tak sesakit rasa kehilanganmu. Aku telah mempertahankanmu setengah mati agar kau tetap menjadi lelaki terakhir dalam hidupku.
Beribu dentingan rindu kukirim diam-diam pada matamu, yang kuharap bisa menyerap habis keinginanmu untuk pergi dariku. Didepanku terbayang lagi senyummu yang telah menorehkan guratan-guratan indah dihatiku yang bernama cinta. Namun semuanya seperti berlepasan begitu saja.
Aku tergelincir disungaimu yang berarus. Setelah mencintaiku kau pergi meninggalkan musim kemarau dihatiku. Aku teluka oleh batu tajam disungaimu. Namun kau memutuskan pergi setelah mabuk beberapa musim bersamaku. Ada yang belum ku ucapkan padamu di minggu pagi saat perpisahan kita kemaren. Seperti ini: Dalam hatiku masih ada rindumu yang menggerus seperti badai. Suatu saat datanglah padaku lagi. Dengan mata dan nafasmu yang masih hangat, atau dengan model rambut dan kumismu yang baru.
Dalam kesendirianku, saat inilah kesepian nyaris sempurna. Kau masih mengusikku pada sepotong mimpi. Entah pada mala atau siang. Setelah kepergianmu yang kutulis hanyalah tentangmu. Juga tentang perih dan rinduku yang menggantung. Aku membuang kecewa ini pada setiap senja. Karena pada saat itulah rindu akan kehadiranmu menjemput getar aneh yang kurasa tiap berada di dekatmu.
Alamat rumahku belum berubah. Jika kau hendak kembali menuruni lembah dari kedalaman hatiku, kerahkan seluruh kekuatan cintamu dan segenap keyakinanmu padaku. Namun sejarah tetaplah bunga bagi hidupku. Aku masih perempuanmu yang maya pada malam kerinduan, yang meneteskan embun dari kuncup bunga dan dedaunan. Dengarlah, aku masih perempuanmu.

Kafiyatun Hasya
Radar Bromo Juni.2010