Minggu, 12 Juni 2011

Hilma Zakiyah


anak perempuan cantik: dedek hilma zakiyah.

Jumat, 10 Juni 2011

Mata Perempuan

: Ayefa D.Raffah
1;
perempuan dimana-mana berharap hidupnya tak mampu mengenal sedih. "kalau hutang bahagia aku taka punya, tapi hutang rindu membuatku tak dapat nyaman melakukan apapun" kata teman sekamar saya.
2;
dimana perempuan yang mampu manahan air mata? sudah saya bilang, perempuan tak pandai menyimpan rahasia duka. matanya yang nyalang, bagai seribu pisau.
3;
adalah anak serupa duka dan bahagia. ia dipastikan lahir melewati terowongan panas, namun syurga yang kekal.
4;
"aku perempuan yang mencintai mata anakku"

Selasa, 07 Juni 2011

Memotong Senja

Jika saja kutikam rindu ke jantungmu, Rofiqi. Saat malam memotong senja, guratan kehidupan, kuning keemasan mahal, juga sesayup kenangan dimatamu
Rofiqi, katup hari dipekan ini memudar. Jendela-jendela menelanjangi bulan. Purnama bergemerutuk menunggu subuh. Angin di semesta, sekedip bintang melamun. Angin apa ini, Rofiqi?
Sunyi berteduh di tubuhmu. Dedaun ber abu resah. Waktu yang kau pinang, mengendap di jantungku, Rofiqi.

Bali Pos, 05 Juni 2011

Kamis, 02 Juni 2011

Perempuan dan Raffah


begini Tuhan memepertemukan kita...
dengan waktu, sejarah dan luka dimalam natal.

Rabu, 01 Juni 2011

Puisi-puisi Ni Nyoman Ayu Suciartini

Binatang Jalang’ berlagu

Syair sederhana tentang kecintaanku pada Chairil Membaca kabar bayang penuh memori Rindu tak terduga lelap di pangkuanku Nada perjuanganmu lindap pelipisku Ilusi jemari dengungkan larikmu penuh gairah Deru tanda kelahiran tengah berlagu ‘sang binatang jalang’ sembunyikan sajak air matamu Menyibak rahasia senja yang makin tua Melukis sisa hari. Menjemputmu pada sunyi Nafasmu terus berkumandang, hingga kau melagukan melodi prihatin Entah siapa lagi setelah , jalan jalang yang menuntunku Menyisir desir dalam risauku

Riuh Chairil

Kebangkitannya dirayakan, riuh sedu sedan Berteriak lantang, hidup seratus tahun saat inginnya Di atas kertas murah, tumpah ruah sajak binatang jalang Pengagummu dari zaman telah menapak, bias kerikil yang tak terempas Memahami semu seuntai katamu Sajak penghibur lara menelanjangi resahku, resah atas kejalangan hidup Sang pengembara batin, matinya berkalang puisi, hanya untuk puisi 62 tahun kau masih menggema dalam tidur panjang, kematian yang menusuk kalbu Pun kau puja wanita melebihi tahta, melukis sketsa yang mengulum sendu Ke’aku’anmu bagai jelaga, koyakkan hidup yang tak sebenarnya, mati untuk berjuang.

Deklarasinya

Muda berapi dengan mata memerah Mengusik tidur serdadu lewat bringas sajaknya Lengkung senja dihiasnya mendekat Memberi tirus sedikit cahaya untuk berdiri Syair meradang, menerjang luka yang seolah mengepung Dalam hening memaki mimpi, terbaring tumpukan gebu angan Lama berbincang perih, menerkam derai pilu yang semakin keruh Melihatmu ada di setiap daun jendela Bersuara mengiringi sendalu dalam gelap Menyentuh debu lapuk yang kian usang Riak semangatmu dalam deklarasi, susup energi hingga pori-pori Deklarasi yang menggantung takut jadi kekuatan

Beranda Chairil

Bulir air mata itu terjatuh, rupa-rupa malam mengemas mendung Langit tidak utuh, karena separuhnya adalah berandamu Hari ini berlagulah kembali, agar kami melihat pentasmu sesungguhnya Chairil yang tak pernah mati, menepuk kepenatan rindu Karet tak pernah memanggilnya, karena ia telah berkompromi Chairil hanya beristirahat, meminjamkan nafasnya untuk waktu yang datang Mengaum pasal kemanusiaan, kami tak berdaya untuk sesal Malam renta dayungkan sepi yang berisi Bunuh aku dalam beranda abadimu, pujangga Tepi sudut mengenang Chairil Anwar, 28 April 2011

Puisi-puisi Umbu Nababan

anak anak karang

Pagi datang tersendat di balik bukit Mata manusia memandang anak anak karang Berbondong menuju gubuk sakit Mencari ilmu jarang

Tanpa alas kaki Beradu dengan bumi terjal Dengan tapak tapak sakti Mengejar mimpi di bawah awan

Berbaju lapuk

Semangat tiada runtuh rapuh Tetap nyala di semai angin ilalang Impian membelai menjelang

Selembar raffia dan kantong hitam Berisi senjata bergambar garuda Mengelayut mesra bahu kekar Bekas pembaringan kayu bakar

Kala jejak berakhir Berhadap hadap pada gubuk Di tengah padang sunyi Beralas debu Beratap helai alang Berdinding gedek bolong anyam

kamar laba laba putih, 02,april,2011

*) Untuk Hardiknas, inspirasi dari salah satu SD paralel di Sumba

negri kelamin?

aku punya kelamin berhias denganya yang punya kelamin setiap hari mempertemukan kelamin karna aku dan nya menyukai kelamin

anakku masih hijau memiliki kelamin sedikit helai di kelamin setiap pagi ke sekolah untuk bertemu kelamin siang berjalan dengan kelamin kala senja menghisap kelamin teman anak ku juga memiliki kelamin tapi sangat kecil kelamin untuk besar kelamin dia berjalan ke internet belajar kelamin

kelamin kelamin kelamin hijau mencari kelamin kelamin renta menyukai kelamin hijau di sekolah ada yang menjual kelamin di rumah rakyat ada yang mencari kelamin ada juga undang undang kelamin

semakin banyak yang jual kelamin anak sma jual kelamin mahasiswa jual kelamin artis jual kelamin anggota dpr juga jual kelamin

apakah ini negri kelamin?

Kamar laba laba putih, 18,mei,2011

Sajak nestapa apu

Apu kini sendiri, terjebak dalam istana alang alang Hanya berteman dengan rindu renta pada umbu tua di negeri sabang

Kala fajar terpancar melewati alang alang jarang Apu merangkai jejak menuju kubur batu purba di dekat menara Lengan berayun menyapu lumut zaman Terkuak ukiran umbu dan apu di bawah arca ratu dan raja

Saat mentari di tengah hari Telapak telapak keriput menyusuri lembah ilalang Sekilas mengingat jejak lalu kala umbu dan rambu muda Menulis cinta lugu di antara karang dan ilalang

Ah… umbu tua Apu semakin nestapa bila langit memerah Mata hanya menyapa cakrawala perbukitan jauh Tanpa menyeka tetesan pilu menatap ilusi Berharap ada siluet umbu tua tiba walau hanya sekejap

Malam akhirnya runtuh kelu Menyelimuti kulit tua yang menanti semenjak muda Penuh harap pada umbu, kembali membawa janji tentang cinta sempurna tanpa ratap…

Depan kampus warmadewa, 18,mei,2011

* apu ; nenek / panggilan khas untuk wanita sumba yang sudah tua *umbu ; panggilan khas untuk pria sumba

Bio data singkat

Nama lengkap florianus paulus ngera. Nama panggilan umbu nababan dan sering juga di panggil umbu spiderno. Lahir di waingapu sumba timur 25 Januari 1984. Sekarang lagi mengambil studi S1 di universitas warmadewa denpasar ,jurusan teknik arsitektur. Aktif menulis sejak di awal bangku kuliah. Alamat blog http://umbuspiderno.blogspot.com/.

Baba Raffah


untukmu, tak ada yang lain

Puisi-puisi Kafiyatun Hasya

HERA

1. Mata kerling itu menelisik hatiku

Membuat ceruk ceruk sebuah nama sunyi

Dibawa remang bulan kembali kueja nama

Angin malam turut memuja

2. Hera, sementara namamu masih berkidung

Meski tak sungguh sungguh jelas

Tapi sampai pada hari ini hanya hujan

Yang mengabarkanmu. Bila penyair

Mengirimimu kisah serdadu. Tentang lelaki

Yang bersenjata itu, maka dekaplah segala

Yang kau miliki

3. Batu mengekalkan tetesan air matamu

Beberapa ayat kerinduan mengelilingi lehermu

Dan kau Hera, tak ada yang merinduimu

Hingga berdarah darah selain

Aku: serdadu dihatimu





Melabuhkan Potongan Waktu



Aku pijak kulitmu, perempuanku. Melabuhkan potongan waktu di tubuhmu. Dua pekan aku mengagumi senyummu. Lelakikah aku, menyesal telah melirikmu tiga kali?

Mana darahmu? Biar ku tato dengan namaku. Biar kujahit dadamu, yang sobek karena terhunus rinduku. Tak ada lelaki yang mampu menidurkan matamu. Selalu berkobar.



Perempuan Dalam Cangkir

Begini menjadi perempuan: Tangan penuh akar serabut. Sekali rengkuh, beberapa jiwa mukim. Kengerian pada secangkir kenangan. Tegukan asin, pahit, jauh dari manis. Secangkir menelanjangi ingatan. Hujan yang menghunus kepala hingga isi perut.

Seorang bertandang padanya:''perempuan dilarang menjadi penyair. Selama masih menyembunyikan kekasih gelap dalam sajaknya.''

bisik lelaki senja

Dia menjadi perempuan dalam secangkir kenangan. Sedikit air hangat dan asinnya mata





Kepada Dulla

Dia menangkap angin menyilet tubuh. Mengalir aroma tubuh lelaki bercampur perempuan.

Cairan itu mengalir di paha, betis, kaki jenjang perempuan. Detak jam memburu nafas, menghijau digemerisik jendela kamar. ''jangan takut, perempuanku''



Sobekan cinta kau selipkan dikuping. Semacam orang Bali menghidupkan tubuh. Dupa dan kemenyan jadi suguhan. ''aku sudah menjadi lelaki, perempuanku''

Dimana bulan bersemedi? perempuan telah mencuri bulan. Dia simpan ditubuhnya.

''aku curi bulan, ketika lelakiku telah kalah. Akan meretas bulan yang berwarna dari rahimku''





Aku Bulan Kecimu

Kau padatkan malam. Keringkan keringat kasih sayang, gugurkan bunga pohon duri. Kau dimalamkan tangisku: bulan kecilmu.

Jika potongan waktu membelah dunia. Kau kancingi bajumu serapi mungkin. Menenteng harapan bertahun tahun kedepan. Mengikat tali sepatumu.

''Nak, kau itu Bulan kecilku. Ayah tahu kau suka kue serabi. Tapi musimkah kue itu ketika angka usiaku memudar?''





Milik Beberapa Lelaki

ini semacam melipat waktu. Meniduri busa di bak mandi. Mencuci daki hati.

Cukup penting!

Semalam beberapa kali lelaki menidurinya dengan bermacam kembang. Ada yang berambut ikal, berkacamata, filsuf, pembalap, asisten dosen, wartawan juga milyoner dikampungnya sendiri.

Semacam beginilah: perempuan suka melipat waktu. Melipat kenangan seperti baju tidak penting.

: O, kekasih. Yang mana darahmu? Aku telah menetaskan anakmu semalam. Pun aku mengandung masa depanmu.





Goris

Maghrib jatuh dikaki. Senja menggempuri tubuh. Dadong Nilam mengemas dagangannya. Daun pisang lima ikat. Daun singkong tiga ikat. Daun sirih tujuh ikat. Buah pinang enam biji.

Senja ranta dipikul Dadong Nilam dalam keranjang dagangannya. Hatinya bergumam

:daganganku sudah laku semua. Yang aku bawa pulang adalah bayangannya.

Bali Post 2011
http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberitaminggu&kid=18&id=46948