Minggu, 08 Mei 2011

Seorang Wanita dengan Parfum Obsession

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                               

                                                                                                                 
“CERITAKANLAH padaku tentang seorang wanita,” Katanya padaku
Maka, kuceritakan padanya tentang seorang wanita dengan parfum Obsession.
Sahibul Hikayat, Calvin Klein jatuh cinta sampai termehek-mehek kepada seorang wanita yang kelak akan menjadi istrinya. Untuk menuntaskan perasaanya, diciptakanlah olehnya parfum bernama Obsession. Maksudnya, barangkali, kalau ia tak bisa mengawini wanita itu, lebih baik mati. Wanita itu menjadi obsesi baginya.
Dengan latar belakang pengetahuan itu, seorang wanita selalu berparfum obsession jika sedang jatuh cinta. Ia sengaja mengoleskan obsession, yang aromanya menyergap dan menyerang, karena ia berpendapat seperti ini.
“Kalau aku jatuh cinta pada seorang lelaki, siapapun dia, aku akan berusaha mendapatkanya, dengan segala cara. Aku buka seorang wanita yang menunggu siapapun yang melamarku. Aku tidak merasa bersalah untuk menyerbu lelaki yang kucintai, apapun kata orang. Aku akan menyatakan dengan segala cara, bahwa aku mencintai dan menghendakinya – kalau tidak suka caraku, bilang saja, aku akan menjauh. Sampai ada lelaki lain yang menarik hatiku.”
Mengahadapi wanita seperti itu, wel, well, well, bisa senang, bisa juga merepotkan. Senang karena ia seperti selalu ada setiap kali kita butuhkan. Repot, karena ia masih ada meskipun sudah tidak kita butuhkan. Padahal kita biasanya tidak tega mengatakan, “Aku tidak butuh kamu lagi.” Kita biasanya tidak berkata apa-apa, tapi menunjukkannya. Berharap sang wanita bisa mengerti sendiri. Namun, meski mengerti, seorang wanita tak selalu mau memahami. Dalam hal wanita berparfum obsession ini, ia bukan hanya bisa pura-pura tidak mengerti. Ia menolak untuk ditolak, kemudian ia menyerang. Busyet.
Wanita, perempuan, betina – ketiga istilah ini sebenarnya menyatu dalam satu makhluk: ia bisa mengasihi seperti seorang ibu, mesra bagaikan kekasih impian, dan begitu jalang ibarat pelacur yang paling menantang.
Aku bertemu dengan wanita berparfum obsession ini lewat telepon. Rupa-rupanya teleponnya nyasar.
“Jadi ini bukan nomor heweshewesheweshewes?
“Bukan, ini nomor hawushawushawushawus.
Suaranya. Suaranya itu. Wel, well, well. Suara yang sangat erotik.
Akulah yang lantas bernafsu.
“Ini Siapa?”
Ia sebutkah sebuah nama.
“Sebenarnay mau mencari siapa ?”
Ia sebutkan sebuah nama lagi.
“Kenapa tidak mencari saya saja?”
Ia bertanya. Kinai ia bertanya.
“Kamu siapa?”
Aku sebutkan sebuah nama.
“Ini kantor apa?”
Aku sebutkan sebuah nama lain.
“Kukira kita bisa ngobrol,” katanya pula.

Lantas ketika aku datang ke kafe yang baru dua hari dibuka itu, kulihat seorang wanita berambut medusa, dewi Yunani yang rambutnya terdiri dari sejumlah ular. Kira-kira begitulah. Roknya mini. Sepatunya seperti sepatu tentara. Kulitnya putih. Tinggi. Mengenakan kaos ketat, sehingga dadanya yang tipis tetap saja menonjol.
Ia tidak cantik, tapi juga tidak jelek. Kecantikan – bukankah ini sesuatu yang sulit? Toh aku harus mengakui, ketika ia mulai bicara, suaranya adalah bagian dari keindahan. Bukan. Suaranya bukan seuara yang merdu. Suaranya serak. Seperti ada sekat di kerongkonganya. Tapi, aneh, aku mersakan sebagai sesuatu yang indah. Percayalah, ini bukan karena aku menyukai Louis Amstrong.
Sambil mengobrol, ia suka melempar makanan ke atas kepalanya, dan ular-ular yang bergeliatan di kepalanya itu melahapnya. Mula-mula aku ngeri. Rasanya seperti mimpi buruk. Namun ini nyata. Kuhirup bau parfumnya.
“Apa parfummu?”
“Obsession.”
Aku mencatatnya baik-baik dalam ingatanku, karena aku selalu berusaha mengingat nama parfum yang keharumannya mengesankan. Baru belakangan aku menyadari seni bau ini, dan betapa kita harusa berterima kasih kepada para pencipta parfum. Dunia barangkali tidak akan menjadi lebih buruk tanpa parfum, tapi aku tidak bisa membayangkan seandainya parfum itu tidak pernah diadakan. Parfum bisa mewakili suatu citra kewanitaan, keanggunan – bahkan jika parfum itu dibuat untuk pria. Tapi sekali lagi percayalah, aku sendiri belum tega mengenakan parfum apapun.
“Bau ketiakmu enak,” ujar wanita itu, pada suatu ruang dan waktu yang lain tentu saja. Ya, tapi ularnmya itu Nek.
Sebenarnya rambut wanita ituhanya menjadi ular pada malam hari. Ketika matahri terbit, ular-ular itu raib, dan rambut wanita itu sungguh-sungguh bagus. Bila bangun tidur, rambutnya yang hitam kelam dan bergelombang sudah menggosok-ngosok hidungku. Seringkali aku bingung, mana kiranya yang lebih menraik hatiku: rambut ulanya, suaranya, atau parfumnya. Kupikir tiga-tiganya salah. Barangkali aku tertarik akrena wanita ini berani menyerang. Agresif dan tidak malu-malu.
“Kalu tidak suka padaku, katakanlah sekarang, aku tidak akan menghubungimu lagi.”
Tapi sebuah perpisahan tak harus dihubungkan dengan suka atau tidak suka.
Pertemuan, perpisahan, astaga, betapa semua ini menjadi bagian kehidupan. Kupikir aku selalu siap berpisah dengan siapapun wanita yang kutemui. Namun ketika saat perisahan itu tiba., rasanya ku tidak pernah siap.
“Kita harus berpisah, kita tidak punya masa depan,” begitulah kalimat itu selalu.
“Apakah suatu hubungan tidak ada artinya, meski tidak akan menjadi apa-apa?”
“Kamu sangat berarti bagiku, tapi untuk apa semua ini, untuk apa ?”
Aku sudah capek denga perdebatan semacam itu. Aku ingin babak-babak kehidupan semacam ituberlalu dengan cepat. Kenyataanya, babak-babak semacam itu selalu datang lagi, nyaris seperti adegan ulangan. Toh, begitulah, perpisahan tidak pernah menjadi mudah. Kupandang ular-ular yang bergeliatan di kepalanya. Aku akan kehilangan ular-ular itu.
“Apakah wanita seperti itu ada?” wanita itu memotong ceritaku.
“Wanita berkepala ular maksudnya?”
“Bukan.”
“Wanita yang menyerang?”
“Bukan.”
“Apa dong?”
“Wanita yang tidak mengharapkan apa-apa.”
Terdengar piano memainkan At a Perfume Counter. Aku menghirup udara. Rasanya bau parfum wanita ini belum kukenal.
“Kukira kamu lebih tahu”
“Tidak, aku tidak tahu.”
“Aku juga tidak.”
Wanita itu tersenyum.
“Kuteruskan ceritanya?”
“Ya,ya, sorry ku potong.”
Hubungan manusia seperti kontrak. Cepat atau lambat hubunga itu akan berakhir dengan perpisahan. Kami bertemu lewat telepon, dan kami juga bepisah lewat telepon.
“Aku tidak bisa lagi menemui kamu.”
“Kenapa?”
“Sudahlah, hubungan kita sudah berakhir.”
“Kenapa harus begitu?  Kenapa harus berakhir ?”
“Tidak apa-apa, aku hanya tidak bisa lagi.”
“Jelaskan dong – aku kan tidak mengharapkan apa-apa dari kamu. Aku tidak pernah minta kamu mengawini aku.”
“Aku tidak mau bertengkar.”
“Aku tidak mau berpisah.”
“Aku ingin berpisah.”
“Aaaahhhh!”
Astaga, sulit sekali menghadapi wanita yang menangis. Padahal dulu dia begitu sombong.
“Aku senang dengan hidupkum,” katanya “Aku senang denga piliha-pilahn yang kulakukan, dan menerima kegagalan dengan sportif. Aku punya banyak pacar, mereka semua memberikan kebahagiaan yang berbeda-beda.”
Untunglah. Untunglah aku tidak pernah mencintainya – dan tidak mungkin: karena hatiku sudah kuberikan untuk seorang wanita berparfum True Love.
Aku tidak pernah bertemu dia lagi semenjak percakapan yang mengakhiri segala hubungan itu. Aku sering merasa aneh dengan kenyataan, betapa kita bisa begitu dekat dengan seseorang, namun bila tiba saatnya berpisah, kita bisa saja tidak pernah berjumpa lagi dengan orang itu, barangkali sampai mati.
“Aku sudah bercerita tentang seorang wanita,” kataku, “Kini ceritakanlah padaku tentang dirimu.”
“Boleh, tapi aku mau minta tambah minuman, dan mau minta lagu. Kamu amu lagu apa?”
Wanita itu memsan Tequila. Kulihat penyanyi wanita itu, ia menyanyi sampil main piano di sudut yang remang. Aku merasa ingat sesuatu, tapi lupa-lupa ingat. Apakah sejarah memang ahrus tergantung pada kenangan?
“Ayo lagu apa? Biar kutulis.”
Misty.
*) Dari Novel “Jazz, Parfum & Insiden”, Yayasan Bentang Budaya, 199

Tidak ada komentar: