Jumat, 06 Mei 2011

Lima Meter

Aku tiba-tiba takut melihatmu. Bergidik. Gemetaran. Tapi sepertinya aku takut yang tak seperti biasanya. Ada yang harus aku tinggalkan dihatimu. Ada yang harus aku ambil pada kehidupanmu. Ketika saat ini, jarak kita hanya lima meter. Lima meter seperti terpisah lautan yang luas. Tapi wajahmu dekat sekali, seperti tanpa halangan. Namun lagi lagi ada  yang merampas ketenanganku ketika di dekatmu.
Lima meter yang seharusnya bukan menjadi masalah besar bagi kita. Tapi lima meter telah menjadi ukuran cintaku padamu. Setelah selesai semuanya disenja hari ini. Selesai semua kontrak hidupku denganmu. Selesai semua. Dan cukup membuatku depresi. Hahaha…
Aku ingin tertawa. Tapi juga sudah terlanjur berkesedihan dengan jarak. Jarak yang telah membuatku masih tekun merawat rasa perih ini, adalah ketika jarak yang semestinya rumit untuk ku lewati ternyata berbalik dari kenyataannya. Kau cukup piawai membawaku. Seperti penyair saja. Menyederhanakan, tapi terkadang melebih lebihkan. Ah, Perempuan sepertimu sedikit centil.
“Aku suka gayamu”
“Dari dulu itu pujianmu. Sesekali, katakanlah jika aku perempuan binal” kau tersenyum dipaksa
“Aku tak pernah berfikiran jorok sepertimu. Hahaha..”
“Anggap saja ini salahku dari awal” dimana mana perempuan memang sepertimu. Cepat ngambek, cemberut, tapi akhirnya kadang malah kau yang merajukku untuk mendekatimu. Ada ada saja perempuan.
“Kau tak baik dengan membalas kejengkelanku tadi.” Kau memelukku dari belakang. Bergelanyut manja. Meninggalkan ciuman di pipiku. “I Love You Honey”
“Hmm.. Love You Too”
“Aku selalu kalah dengan responmu. Kau kenapa tak pernah membujukku saat aku ngambek honey?”
“Bukan begitu honey…”
“Tapi kau bilang mencintaiku”
“Tentu saja”
“Lalu kenapa bersikap seperti tak peduli padaku?”
“Aku mencintaimu. Sama saat kau bersikap seperti tadi”
“Kau tak suka aku begitu honey?”
“Tak perlu ditebak bukan sayang…?! Semuanya sederhana. Tidak usah diperpanjang lagi”
“Tapi aku yang merasa tak kau perhatikan” wajahmu berubah sedih
“Aku mencintaimu honey”
Seperti tak terjadi apa apa di antara kita. Lima meter telah berlalu. Tapi dalam bayanganku, jarak lima meter itu tetap bisa terjadi sesuatu yang tak terduga. Dibuat nyatapun, lima meter seakan akan tamat lima ribu tahun lagi jarakku denganmu.

#                                              #                                              #
Hasil dari perjalanan kali ini adalah sejarah berkesinambungan. Jarak lima meter kita tepat sekali memisahkan apa yang sengaja telah kita ciptakan. Perempuan sepertimu kadang membuatku tak mampu berkutik. Tubuhmu sintal dan proporsional. Tak ada perempuan perempuanku yang se ideal kau. Hahaha…
Aku sangat beruntung menjadi lelakimu. Entahlah, lelaki yang keberapa. Dan mungkin semua kata kata yang kau lontarkan padaku juga hasil kopiyanmu dari lelaki lelaki sebelum  aku. Bah!
Apa sebenarnya yang kau rasa saat lima meter menjadi musuh kita? Jurangnya penuh duri duri halus dan panjang pula, tak pernah kubayangkan ketika tubuh kita bergulung gulung di atas hamparan duri-duri laknat itu. Sebenarnya akupun bertanya tanya. Bertanya muasal langkah kita yang berjarak lima meter. Rasa apa yang membawa kakiku menjauh, atau kakimu menajuhiku.
Matamu masih bening. Senyummupun semekin merekah ketika jarak sebegini mataku melihatnya. Tak ada yang tahu, ihwal kedekatan kita bagaimana sedalam begini. Serumit begini perempuanku. Semua rasa dari segala yang aku punya meleleh padamu. Aku tampak culun ketika mendengarkan kau membacakan puisi untukku.
Dengan beju santaimu, kau sering mengajakku duduk di emperan toko-toko di malam hari. Kemudian kau membacakan  Puisi puisi barumu setiap malam untukku. Ada satu puisi yang paling kau suka. Karangan kawanmu yang katanya sedang bermukim di sebuah negara terpencil, negara yang sangat menghargai penyair  perempuan. Di Negara terpencil itu keberadaan penyair perempuan sama dengan ibu yang telah melahirkan mereka. Perempuan yang patut diberi tempat indah.
Maka dari itu kau lebih sering memperdengarkan puisi tentang perjuangan seorang perempuan ketimbang puisi kasmaran. Dan yang telah membuatku semakin kagum padamu, adalah ketika kau memberi nama anak kawan kita dengan nama kawanmu yang penyair perempuan itu, Senandung Hera namanya. Makin aku tahu, bahwa jiwamu penuh puisi yang rumbai.
Puisimu yang rumbaipun telah menuai percikan dijarak kita sekarang.
“Disini, aku berdiri tanpa sekalipun menyentuh tubuhmmu.”
“Biarlah lima meter menjadi ukuran hidup dan mati kita ”
“Tak kan ada lagi kematian tragis seperti penyair perempuan, kawanmu itu”
“Dia yang merindui kematian tragisnya sendiri. Dia terlalu orangnya. Tak ada kaitannya dengan lima meter dihadapan kita”
“Perempuan tidak baik keras kepala”
“Aku tidak memaksa keadaan yang rumit begini”
“Hahaha….. tidak ada waktu untuk ngambek lagi ”
“Aku tahu, lima meter telah membuatmu bahagia bukan. Aku sudah menduganya”
“….”
“Aku tinggalkan sepotong pagi untukmu. Aku taruh disampingmu sudah.”
“Sepotong pagi?? Apa apaan kau. Jangan main main!” aku mulai kesal
“Lelaki tidak baik keras kepala. Diamlah!”

#                                              #                                              #
Tak ada alasan untuk meninggalkanmu. Bukan masalah cinta dan nafsu lagi. Kenangan telah mengancamku sejak semalam. Sampai selesai aku mandi dan makan  pagi, dia menerorku. Perempuan apa sebenarnya kau ini? Pikiranku kacau menerka nerka kepribadian dan kemuaanmu yang kerap aneh.
Lima meter, sekan dibatasi gunung yang menjulang tinggi serta perkasa, juga hutan yang belukar sebagai hunian hewan buas. Kau terlampau aneh dimataku. Lima meter yang tak bisa aku hentikan untuk memikirkan ukuran jarak ini.
Mana yang bisa aku percaya sekarang? Kenyataan  jarak atau rindu yang menusuk nusuk hatiku dengan jarum-jarum tajam?. Lima meter yang telah mengalirkan rinduku. Mengalir membasahi lorong-lorong sempit juga got-got tua.. Sungai yang tak bermuara. Laut yang riuh dengan ombaknya. Semua kau beri rasa rinduku. Hanya karena kau perempuan saja. Perempuan yang telah kutinggalkan sesuatu dihatimu.
#                                              #                                                          #
Gigil pagi dan embun menyentil tubuhku. Subuh merayap lambat. Aku menggeliat sedikit. Aku memeluk tubuhmu yang membelakangiku sejak jam sembilan semalam.
“Ini sepotong pagi yang kukatakan padamu waktu itu” kau terisak
“Sudahlah, lima meter saja bisa aku atasi.” Ku eratkan pelukanku
“Semalam telah kukentalkan semua kenangan kita. Telah ku pilah pilih waktu apa yang akan selalu aku ingat jika berjauhan denganmu.”
“Waktu yang bagaimana perempuanku? Hmm..?”
“Waktu dimana lima meter telah menjadi sakau dihati kita. Lima meter yang penuh kucuranan keringat dan hampir membuatmu depresi.”
“Tapi aku tak sampai mati, sayang”
“Akupun telah mengekalkan kenangan di pagi gigil kali ini”
“Lima meter jarak yang rimbun kenangan. Aku mencintaimu honey”
“….”
“Aku mencintaimu. Terimakasih telah meninggalkan gigil pagi setelah lima meter jarak yang kita rasakan kemarin.”

Pendopo sastra November 2010

Tidak ada komentar: