_"LeMBaH KaTa-KaTa"_
Karena jiwa adalah terminal rasa yang menggetarkan, lewat desiran yang samar,dan membawa kita ke waktu-waktu..... Akupun akan membawamu di kemudian rasa
Jumat, 22 Juli 2011
Ma : sepotong di Terminal
Dikemudian malam sebuah Bis akan berpulang
Dan pada Terminal orang-orang memberi kehidupan mulia.
Riuh klakson, pedagang, juga asap abu-abu
“berakhir disini, Ma”
Katamu dipintu Bis. Matamu senantiasa mengirimi
Pisau-pisau rindu yang melukai hati. Adakah terminal Bis
Yang lebih cepat untuk mengantarmu kembali padaku
Setelah ini?
Luka dari pisau rindumu sakau ditubuhku.
Lelampu dijalanan bak matamu. Serupa asap abu-abu
Bis yang membawamu, aku nikmati baunya yang
Menyesakkan dada.
“bukan keterakhiran yang membuat kita
kita menangis. Bukan pula semacam cinta untuk berlabuh.
Kata siapa aku tak pantas merindukanmu, Ma?
Aku hanya tak pantas mengartikan hubungan kita”
Disini, dihatiku, Ma. Sengaja ku bangun Terminal untuk rindumu.
Lumajang-situbondo 2011
Jumat, 08 Juli 2011
Tegakkan alif
Raffah, nyala kau selipkan dijantungku. Barangkali dengan begitu kau akan turut mengeja degubku. Seperti benyi-bunyi sunyi. Lalu kau tegakkan alif dijantungku.
Jika kau lihat kotaku samar, itu sebuah kehilangan yang berselisih. Jika kau temukan rinduku yang patah-patah sedang menenun sebuah sua:
Mampuskan, Raffah
Dimana tanda kelahiran pada lenganmu, pun di lenganku. Sebuah kecocokan tersimpul
Raffah, jika kelak kau temukan rambutku mengalirkan butiran-butiran puisi. Satu di antara mereka adalah perjalananmu yang ku amini
Kamis, 07 Juli 2011
Perempuan Madura
Zarofa pa’ opa’ eleng
Zarofa pa’ opa’ eleng
Perempaun Madura yang manis. Kidungmu singgah di hati lelaki, kemudian. Pa apa menjadi gemeriap
Zarofa pa’ opa’ eleng
Zarofa pa’ opa’ eleng
Serupa nostalgia bunga. Wajahmu kemerahan tersipu. Sebuah kepulangan dan rindu yang berasap. Perempuan purnama dikota cahaya
Zarofa pa’ opa’ eleng
Zarofa pa’ opa’ eleng
Sebagaimana sejarah perempuan. Matamupun pernah hujan. Namun, tak ada kidung-kidung rahasia sepertimu.
Pamekasan - Singaraja 2011
Zarofa pa’ opa’ eleng
Perempaun Madura yang manis. Kidungmu singgah di hati lelaki, kemudian. Pa apa menjadi gemeriap
Zarofa pa’ opa’ eleng
Zarofa pa’ opa’ eleng
Serupa nostalgia bunga. Wajahmu kemerahan tersipu. Sebuah kepulangan dan rindu yang berasap. Perempuan purnama dikota cahaya
Zarofa pa’ opa’ eleng
Zarofa pa’ opa’ eleng
Sebagaimana sejarah perempuan. Matamupun pernah hujan. Namun, tak ada kidung-kidung rahasia sepertimu.
Pamekasan - Singaraja 2011
Minggu, 12 Juni 2011
Jumat, 10 Juni 2011
Mata Perempuan
: Ayefa D.Raffah
1;
perempuan dimana-mana berharap hidupnya tak mampu mengenal sedih. "kalau hutang bahagia aku taka punya, tapi hutang rindu membuatku tak dapat nyaman melakukan apapun" kata teman sekamar saya.
2;
dimana perempuan yang mampu manahan air mata? sudah saya bilang, perempuan tak pandai menyimpan rahasia duka. matanya yang nyalang, bagai seribu pisau.
3;
adalah anak serupa duka dan bahagia. ia dipastikan lahir melewati terowongan panas, namun syurga yang kekal.
4;
"aku perempuan yang mencintai mata anakku"
1;
perempuan dimana-mana berharap hidupnya tak mampu mengenal sedih. "kalau hutang bahagia aku taka punya, tapi hutang rindu membuatku tak dapat nyaman melakukan apapun" kata teman sekamar saya.
2;
dimana perempuan yang mampu manahan air mata? sudah saya bilang, perempuan tak pandai menyimpan rahasia duka. matanya yang nyalang, bagai seribu pisau.
3;
adalah anak serupa duka dan bahagia. ia dipastikan lahir melewati terowongan panas, namun syurga yang kekal.
4;
"aku perempuan yang mencintai mata anakku"
Selasa, 07 Juni 2011
Memotong Senja
Jika saja kutikam rindu ke jantungmu, Rofiqi. Saat malam memotong senja, guratan kehidupan, kuning keemasan mahal, juga sesayup kenangan dimatamu
Rofiqi, katup hari dipekan ini memudar. Jendela-jendela menelanjangi bulan. Purnama bergemerutuk menunggu subuh. Angin di semesta, sekedip bintang melamun. Angin apa ini, Rofiqi?
Sunyi berteduh di tubuhmu. Dedaun ber abu resah. Waktu yang kau pinang, mengendap di jantungku, Rofiqi.
Bali Pos, 05 Juni 2011
Rofiqi, katup hari dipekan ini memudar. Jendela-jendela menelanjangi bulan. Purnama bergemerutuk menunggu subuh. Angin di semesta, sekedip bintang melamun. Angin apa ini, Rofiqi?
Sunyi berteduh di tubuhmu. Dedaun ber abu resah. Waktu yang kau pinang, mengendap di jantungku, Rofiqi.
Bali Pos, 05 Juni 2011
Langganan:
Postingan (Atom)