Kamis, 07 Oktober 2010

Aku Masih Perempuanmu



Cerpen: Kafiyatun Hasya

Aku dulu telah menjadi perempuanmu. Dalam kalut dan bahagiamu. Aku dulu yang selalu kau hawatirkan. Namun kenangan telah membawaku jauh kedalam nasibmu sangat dalam. Pada hidupku pernah kau sematkan selendang rindu penuh warna dengan bunga yang cantik. Lewat gemericik air yang berlalu menyudahi kenangan kita, kini tengah menumbuhkan pucuk-pucuk kehidupanku tanpamu.
Masih ku ingat malam minggu itu dirumahku. Dilatari gerimis hujan pada malam yang syahdu. Kau bernyanyi dengan gitar yang kau bawa dari rumahmu. Suasana penuh tawa dan cubitan gemas.
“Satu lagu buatmu malam ini”
“Ok. Aku ingin mendengarnya” Aku berkata sambil bergelanyut manja dipundakmu
Malam menyapa kami dengan kemesraan. Mungkin kuncup bunga akan bermula sejak malam ini. Semoga do’aku yang menjuntai menghampiri hatimu.
Setelah mencintaimu, kau menjadi segala apa yang ingin kutulis dalam sejarahku. Setelah menjumpaimu aku ingin lebih dari itu. Dan setelah kau menjadi kekasihkupun aku terus ingin lebih sekedar kekasih. Sudah kupahat dalam hatiku sangat dalam. Jika kelak Tuhan menyatukan kita, aku tak kan biarkan kau bergegas pergi.
Telah kutimbun banyak harapan setelah mencintaimu. Aku jadi kelu dengan kabut kata-katamu yang lahir dari bibirmu yang panas. “Aku mencintaimu dik” Suaramu meredupkan kunang-kunang dimatamu
Tiba-tiba aku dan kau sama-sama menyukai senja. Beginilah memang orang yang sedang jatuh cinta. Merasakan segala suara adalah lagu percintaan. Segala warna adalah merah muda. Dan segala yang tergambar pada mata hanyalah wajah sang kekasih.
Aku bahagia dengan kekonyolan dan guyonanmu. Tiap kali kita bertemu aku selalu ingin mengabadikannya. Aku ingin perekam video didepan kita. Dan jika kau tak disampingku, aku tetap bisa melihatmu tertawa atau marah. Kemudian pada sebuah kamar kau memberiku sebuah perahu jiwamu. Bersama-sama kita berlayar kedalam sebuah lenguhan panjang. Yang membuat mata perlahan tertutup dan terbuka mengikuti ritme nafas kita.
“’Mas mencintaimu dik” samar kudengar bisikmu disubuh. Kau membangunkanku dengan menempelkan pipimu di pipiku yang basah oleh air mata.
“Bangun sayang” Kau memelukku erat. Membelai rambutku. Mengusap tangisku dengan jarimu.”Mas tetap akan disampingmu”. Barisan kata-katamu mengendap di kepalaku. Menyusuri helai rambutku yang lurus menyamai jalan kesurga disana.
“Lihatlah duicermin itu, dik. Ah, kau perempuanku yang sangat cantik” Aku merona dengan kata-katamu yang menyerbuku. Kau menarikku kedalam pelukanmu. Merapikan rambutku yang sudah rapi. Lalu mangakhiri ciuman dibibirku. “Lihat itu” jari telunjukmu mengangkat daguku. Menuntun mataku pada cermin tempat kita tersenyum. Aku merasa kupu-kupu sedang terbang dihati kita. Seperti sedang mengitari bunga-bunga.
“Kita mengabadikan dalam cermin saja. Cermin tiap kamar yang kita singgahi pasti besar. Aku bisa jelas melihat wajahmu yang malu-malu saat kutatap”
“Aku ingin kita begini terus. Menjadi tuan dan nyonya. Saudagar kebahagiaan yang takkan habis meski ratusan keturunan Mas”
Pada siang yang mendung. Aku tidur didadamu yang tak terlalu bidang. Pada sebuah kamar yang berbeda. Sepanjang siang sampai sore kita mengobrol. Dan kau selalu membacakan puisi untukku. Seperti disore itu kau membacakan puisi sungai kecil karya D.Zawaai Imron. Aku menghafal bait puisi itu setelah pertemuan kita hingga sekarang.
Atau diwaktu sore itu kita jalan-jalan mengendarai motor. Belanja bersama. Aku pernah pilihkan satu baju untukmu, tapi kurang cocok menurutmu.
“aku ingi baju ini saja. Warna dasar putih yang lukisannya tidak terlalu norak. Pantaskan buat mas? Bagaimana sayang?”
“Boleh deh Mas”
Sepulang jalan-jalan kita masih menyusuri beberapa tempat.
“Peluk Mas yang erat, dik. Dingin ”suaramu riuh dibawa angin.
“Iya Mas. Tapi bawa motornya pelan-pelan. Disini baru habis diguyur hujan. Jalannya masih licin”
“Makanya Mas dipeluk dulu” kau sedikit berteriak sambil memperbaiki letak helemmu
Diwaktu dan tempat yang telah kita sepakati kita bertemu lagi. Makan mi kuah kesukaanmu. Dikamar yang berbeda lagi, hanya ada kau dan aku. Selesai makan kau menghidupkan televisi. Beberapa kali kau pindah chenel, lalu kau memutuskan memilih acara musik.
“Wah ini dia penerus Dhani. Aku ingin anak-anak seperti mereka. Kelak kau bisa memberikan anak seperti tiga jagoan ini dik”
“Ya bisa aja Mas. Tapi masak anak kita jadi anak Band semua?”
“Kenapa tidak syanag…”
Dan inilah percakapan terakhir kita disebuah kamar yang kita singghi setahun yang lalu.
# # #

Aku selalu ingin tetap menjadi perempuanmu satu-satunya dalam hidupmu. Menjadi perempuan tunggalmu. Tanpa selir dan lainnya.
Banyak kemungkinan yang telah aku siapkan setelah mencintaimu. Mungkin ini badai bagi hubungan kita saat ini. Munghkin juga setelah bersabar beberapa waktu kau baru akan menyadari semua harapanku. Aku telah menjadi perempuanmu dalam sejarah hidupmu. Tahukah kau, kehilangan apapun yang aku miliki tak sesakit rasa kehilanganmu. Aku telah mempertahankanmu setengah mati agar kau tetap menjadi lelaki terakhir dalam hidupku.
Beribu dentingan rindu kukirim diam-diam pada matamu, yang kuharap bisa menyerap habis keinginanmu untuk pergi dariku. Didepanku terbayang lagi senyummu yang telah menorehkan guratan-guratan indah dihatiku yang bernama cinta. Namun semuanya seperti berlepasan begitu saja.
Aku tergelincir disungaimu yang berarus. Setelah mencintaiku kau pergi meninggalkan musim kemarau dihatiku. Aku teluka oleh batu tajam disungaimu. Namun kau memutuskan pergi setelah mabuk beberapa musim bersamaku. Ada yang belum ku ucapkan padamu di minggu pagi saat perpisahan kita kemaren. Seperti ini: Dalam hatiku masih ada rindumu yang menggerus seperti badai. Suatu saat datanglah padaku lagi. Dengan mata dan nafasmu yang masih hangat, atau dengan model rambut dan kumismu yang baru.
Dalam kesendirianku, saat inilah kesepian nyaris sempurna. Kau masih mengusikku pada sepotong mimpi. Entah pada mala atau siang. Setelah kepergianmu yang kutulis hanyalah tentangmu. Juga tentang perih dan rinduku yang menggantung. Aku membuang kecewa ini pada setiap senja. Karena pada saat itulah rindu akan kehadiranmu menjemput getar aneh yang kurasa tiap berada di dekatmu.
Alamat rumahku belum berubah. Jika kau hendak kembali menuruni lembah dari kedalaman hatiku, kerahkan seluruh kekuatan cintamu dan segenap keyakinanmu padaku. Namun sejarah tetaplah bunga bagi hidupku. Aku masih perempuanmu yang maya pada malam kerinduan, yang meneteskan embun dari kuncup bunga dan dedaunan. Dengarlah, aku masih perempuanmu.

Kafiyatun Hasya
Radar Bromo Juni.2010

Tidak ada komentar: